Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Jum'at, 26 April 2019 | 18:27 WIB
Sejumlah perempuan anak cucu Kiai Banakeling berjalan menuju makam dalam Perlon Unggahan di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (26/4/2019). [Suara.com/ Teguh Lumbiria]

SuaraJawaTengah.id - Perlon Unggahan menjadi tradisi sakral sehingga pantang dilewatkan oleh anak cucu maupun para pengikut Kiai Banakeling. Mereka yang berada di luar daerah pun, memilih mudik untuk mengikutinya.

"Anak-anak muda di sini demikian. Pada saat unggahan, mereka yang merantau di Jakarta, semuanya pulang," kata Juru Bicara Komunitas Adat Banakeling, Sumitro, di sela-sela acara Perlon Unggahan, Jumat (26/4/2019).

Dia pun meyakini, Komunitas Adat Banakeling berikut serangkaian tradisinya akan tetap lestari ke depannya.

"Di sini ada fiolosofi genting tan pedhot. Artinya, walau sampai kapanpun tetap bertahan, tidak akan putus tidak akan punah," kata dia.

Baca Juga: Sambut Bulan Puasa, Pengikut Banakeling Gelar Perlon Unggahan

Keyakinan itu semakin bertambah, ketika dalam perkembangannya, anak cucu atau pengikutnya semakin bertambah.

"Komunitas Banakeling tidak hanya di Banyumas saja, tapi termasuk juga di wilayah Cilacap. Generasinya juga semakin banyak," kata dia.

Perlon Unggahan pada Jumat pagi diawali dengan masak besar. Mereka menyembelih sapi, kambing dan ayam di kompleks rumah adat.

"Sapi yang disembelih satu ekor. Untuk kambingnya 20 ekor," kata dia.

Jumlah hewan yang disembelih, lanjut dia menyesuaikan dengan tamu yang hadir. Bahwa dalam Perlon Unggahan kali ini, tamu yang datang dari luar daerah di bawah 1.000 orang.

Baca Juga: 4 Tradisi Menyambut Ramadan di Indonesia yang Hampir Punah

Jumlah itu berbeda dengan tahun lalu, yang biasanya berkisar 1.200 – 1.500 orang.

Load More