Scroll untuk membaca artikel
Agung Sandy Lesmana
Sabtu, 15 Februari 2020 | 13:16 WIB
CA (16), siswi SMP Muhammadiyah Butuh korban perundungan, ditenangkan keluarga di rumahnya, Desa Tamansari, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Kamis (13/2/2020). - (Suara.com/Baktora)

SuaraJawaTengah.id - Rencana Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang ingin memindahkan siswi SMP Muhammadiyah Butuh, Purworejo berinisial CA, korban perundungan ke sekolah luar biasa (SLB) mendapat penolakan dari Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (Perdik) Ishak Salim.

Menurut Ishak, wacana Ganjar yang mau memindahkan CA ke SLB seolah sedang melestarikan stigma negatif terhadap kalangan disabilitas. Sang kepala daerah juga dianggap tidak memberikan kesetaraaan terhadap disabilitas.

Dia mengatakan, dunia pendidikan sedang menuju ke arah terbuka bagi setiap kalangan (inklusif). Dengan begitu, setiap warga negara termasuk disabilitas memiliki hak yang sama dalam mengakses pendidikan formal.

Ishak mengatakan perundungan yang dialami CA bisa terjadi di sekolah-sekolah lain yang mulai menerima difabel sebagai peserta didik.

Baca Juga: Muhammadiyah Protes Sekolahnya Akan Ditutup Ganjar Pranowo karena Bully

Hal itu, kata dia, alam berpikir masyarakat begitu lama dalam paradigma terhadap difabel, yang kerap dianggap insan sakit.

Padahal setiap anak didik difabel, kata Ishak, sejatinya membawa kemampuannya.

"Semakin banyak ragam kemampuan peserta didik itulah realitas inklusivitas," katanya.

Aktivis difabel di berbagai kota, lanjut dia, sudah tiga dekade memperjuangkan agar pendidikan bagi disabilitas tidak segregatif tapi inklusif.

"Jika seorang gubernur lalu berpikir sebaliknya patut disayangkan. Padahal selama ini warganya mempraktikkan kesetaraan disabilitas di semua sektor penghidupan," kata dia.

Baca Juga: Sungguh Tega, Seorang Siswi di Bully oleh Tiga Siswa SMP di Purworejo

Ganjar dalam kasus CA, kata dia, seperti mengabaikan potensi warga-warga negara terbaiknya untuk menimbang keputusan terbaik. Gubernur seperti tak sabar dalam mengambil keputusan dan merasa apa yang diputuskan sebagai kebenaran.

Ishak mengatakan infrastruktur pendidikan inklusif di berbagai tempat di Indonesia sudah ada mulai dari pihak guru, pusat sumber, pemerintah dan pihak terkait lainnya.

"Saat difabel mulai memilih sekolah umum dan masuk dalam sistem pendidikan yang selama ini mengabaikan eksistensinya, maka pihak-pihak terkait baik kepala sekolah, guru, maupun para siswa didik lainnya harus juga mulai beradaptasi," katanya. (Antara).

Load More