Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 21 Mei 2022 | 06:32 WIB
Eks Napiter Machmudi Hariono alias Yusuf menceritakan pengalamannya ketika dulu terjebak dalam jaringan teroris kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di SMA Muhammadiyah 1 Weleri Kendal. [Istimewa]

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jateng, Haerudin mengatakan kegiatan ini menjadi bagian dari tugas pencegahan terkait radikalisme terhadap generasi muda.

“Mereka harus dikenalkan bagaimana ciri-ciri maupun ancaman dari radikalisme tersebut. Untuk apa? Agar mereka bisa mengenali apa dan bagaimana radikalisme tersebut. Harapannya, generasi muda bisa ‘melawan’ radikalisme tersebut,” katanya.

Sehingga generasi muda bisa ‘melawan’ atau menangkal radikalisme itu sendiri. Ada dua hal. Pertama upaya melakukan pencegahan. “Setelah mereka mampu mengenali, mereka akan mampu menentukan sikap untuk menjauhkan diri dari paham-paham yang berbau radikalisme,” terangnya.

Mengenal ciri-ciri tersebut, misalnya kajian-kajian agama yang bersifat eksklusif, menjelek-jelekkan kepercayaan orang lain, atau ajakan yang mengandung ancaman kekerasan.

Baca Juga: Gus Miftah Ingatkan, Rasa Kebencian Terhadap Pemimpin Bisa Memicu Paham Radikalisme

“Bagaimana apabila siswa menemukan ciri-ciri seperti itu? Maka siswa diminta untuk tabbayun, meminta penjelasan atau klarifikasi kepada pendamping, baik guru di sekolah maupun orang tuanya. Jangan gampang menerima doktrin dari paham-paham yang tidak jelas,” katanya.

Usia remaja, menurutnya, memang sangat semangat untuk memelajari hal baru. “Silakan memelajari wawasan baru, tapi harus mampu mengenali bagaimana doktrin atau paham-paham radikalisme tersebut berbahaya. Kalau berbau ancaman, kekerasan, ya jangan,” imbuhnya.

Kedua, fenomena radikalisme hingga mengarah ke terorisme belakangan ini telah menjadi ancaman masyarakat. Maka, menurutnya, perlu dilakukan ‘jemput bola’ ke sekolah-sekolah untuk memagari generasi muda dari ancaman paham radikalisme tersebut.

“Berdasarkan kajian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), paling rentan adalah remaja usia 16 hingga 24 tahun. Maka diperlukan deradikalisasi atau proses penyembuhan. Itu menjadi bagian tugas kami,” katanya.

Mengapa sosialisasi tersebut melibatkan eks narapidana terorisme (Napiter)? Menurutnya, para siswa perlu mendengarkan penjelasan dari narasumber yang kredibel. “Maka kami melibatkan narasumber mantan narapidana terorisme dan akademisi,” katanya.

Baca Juga: Gus Miftah: Penanaman Kebencian Kepada Pemimpin Picu Radikalisme

Narasumber lain, Direktur Kreasi Prasasti Perdamaian (Ruangobrol.id), Annisa Triguna mengatakan pesatnya perkembangan teknologi internet saat ini memiliki dampak positif dan negatif. Di satu sisi, teknologi membantu memudahkan kebutuhan aktivitas manusia. Namun di sisi lain sekaligus bisa membawa dampak berbahaya. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Sebab, remaja bahkan anak-anak setiap saat bisa mengakses internet dengan mudah.

Load More