Ia terpisah dengan suami dan anaknya yang lain. Marwiyah mengungsi bersama anaknya yang menjemput setelah kejadian berlangsung. Malam itu, ia mengungsi di tempat seorang pelanggan yang biasa mampir ke warungnya jika berwisata ke Pantai Widarapayung. Rumahnya berada di Desa Pageralang, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas.
"Saya mengungsi disitu tiga hari. Tanpa membawa apapun, cuma bawa baju yang menempel di badan. Saya bahkan lupa membawa jilbab. Jadinya saya dipinjamin sama yang punya rumah. Sampai sekarang malah masih saya simpan buat kenang-kenangan," lanjutnya.
Trauma tentu saja masih menghantui Marwiyah beberapa tahun pasca bencana tsunami. Namun dirinya mencoba bangkit tiga bulan setelahnya. Bukan tanpa sebab, mata pencaharian satu-satunya hanya dari berdagang makanan di Pantai Widarapayung.
![Tugu peringatan tsunami yang didirikan pemerintah daerah di Pantai Widarapayung, Kabupaten Cilacap, Kamis (7/10/2021). [Suara.com/Anang Firmansyah]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/10/08/23144-tugu-tsunami-di-cilacap.jpg)
Pengalaman berbeda dialami Yanti (49), warga RT 04 RW 14, Kelurahan Tegalkamulyan, Kecamatan Cilacap Selatan. Pada saat peristiwa gempa dan tsunami, dirinya tengah hamil anak kedua dengan usia kandungan delapan bulan.
Baca Juga:Usai Laga PSCS vs AHHA PS Pati, Fasilitas Ruang Ganti Stadion Manahan Diduga Dirusak
Dalam satu keluarga, tidak ada yang mengungsi pasca gempa besar. Pasalnya, ada salah satu anggota keluarga yang terbaring sakit dan tidak memungkinkan untuk mengungsi. Terlebih kondisi jalanan yang sudah semrawut karena banyaknya warga yang ingin mengungsi ke lokasi yang lebih aman.
"Panik saya, mau ikut ngungsi jelas tidak mungkin karena ibu saya tidak bisa bangun (sakit). Sedangkan saya hamil 8 bulan. Suami saya bilang 'tenang tidak bakal ada tsunami kita disini saja'. Seandainya pun ada tsunami kita mati bareng-bareng," katanya saat ditemui.
Jarak dari lokasi ia tinggal dengan Pantai Kemiren hanya berkisar 500 meter. Terpisah oleh jalan raya dan area persawahan. Dirinya sudah tinggal di sini sejak tahun 2004. Saat kondisi perumahannya masih sepi tidak seperti sekarang.
"Setelah gempa tidak ada bangunan yang ambruk, karena perumahan sini masih sepi. Tidak ada korban jiwa. Tapi semua pada berhamburan keluar karena takut sih. Jalannya macet karena akses jalan hanya satu saja. Jadi kalaupun keluar buat ngungsi pasti bakal kena macet. Kalau misal lari masih mungkin untuk bisa menembus kemacetan," ungkapnya.
Selama ini, dirinya mengaku sangat minim simulasi dan sosialisasi dari pemerintah daerah jika seandainya ada gempa dan tsunami terjadi. Ia hanya mengetahui jika akan ada tsunami sirine di masjid tempatnya tinggal akan berbunyi keras.
Baca Juga:Klubnya Atta Halilintar AHHA PS Pati Keok Lagi, Kali Ini Dipecundangi PSCS Cilacap
"Beberapa kali sirine itu dibunyikan untuk mengecek fungsinya. Karena katanya kalau tidak sering dicoba kan bakal rusak. Saya cuma dikasih tahu lokasi jalur evakuasinya. Terus harus menyelamatkan diri di tempat gedung yang lebih tinggi seperti sekolahan," terangnya.