SuaraJawaTengah.id - Pencabulan di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Demak mencoreng dunia pendidikan. Dengan dalih menyemprotkan obat nyamuk, oknum pengasuh ponpes itu malah mencabuli santrinya
NS seorang ustadzah pondok pesantren ternama di Kabupaten Demak tak bisa tidur lelap tatkala ingat pencabulan yang dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren tempat dia mengajar.
Dengan dalih menyemprot obat nyamuk, pengasuh ponpes tersebut bebas keluar masuk kamar santriwati yang notabennya dihuni oleh anak-anak dan ustadzah.
Hampir setiap malam, pengasuh ponpes itu melakukan rutinitas tersebut. Awalnya, keadaan baik-baik saja. NS tak menaruh curiga terhadap gelagat pengasuh ponpes yang terkenal karena program hafalan anak yang diadakan di salah satu televisi itu.
Baca Juga:4 Kerajaan Islam Pertama Di Pulau Jawa: dari Kawasan Pesisir hingga Mataraman
NS merupakan ustadzah sebuah pondok pesantren yang cukup terkenal di Kabupaten Demak. Tahun 2017, NS mulai mengajar di pondok pesantren tersebut.
Dia merupakan pengajar khusus untuk hafalan Qur'an, ya di adalah seorang hafidzoh atau sesorang yang hafal Al-Qur'an. NS masuk di pesantren tersebut saat Bulan Ramdhan.
Selama satu tahun, NS mengajar seperti biasa. Selain menjadi pengajar hafalan Al-Qur'an, NS juga ditugaskan sebagai ketua pondok pesantren tersebut.
Hal itu membuatnya dekat dengan keluarga pengasuh pondok pesentren tersebut, atau dalam bahasa santri disebut dengan "keluarga ndalem".
Hal itu, membuat keluarga besar ponpes tersebut kenal akrab dengannya tak terkecuali istri pengasuh ponpes tersebut.
Baca Juga:Polisi Tangkap Pengusaha Hiburan Malam Di Jakarta, Diduga Cabuli 13 ABG Perempuan
Setalah satu tahun di sana, kehidupan NS benar-benar berubah. Dia tak menyangka, seorang pengasuh pondok pesantren yang NS anggap sebagai orang tuanya itu tega melakukan pelecehan seksual saat Bulan Suci Ramadhan.
"Ya saya ingat, pertama kali mendapatkan pelecehan seksual yaitu ketika saya puasa ketiga berada di sana," jelas NS dengan terbata-bata.
Tindakan asusila tersebut bermula ketika NS sedang tidur di kamar bersama para santriwati yang masih kecil-kecil. Saat semua orang tertidur, tiba-tiba pengasuh ponpes tersebut masuk ke kamar tanpa sepengetahuannya.
Saat kejadian sudah jam 11 malam. Semua santriwati dan ustadzah juga sudah tidur. Saat itu, pengasuh ponpes tersebut bisa dengan mudah keluar masuk dengan leluasa karena kamar tersebut sengaja tak diberi pintu.
"Malam itu, tiba-tiba dia (pengasuh ponpes) masuk ke kamar dan tiba-tiba mencium saya," katanya.
Saat itu, NS tak berkutik. Badan terasa kaku lantaran kaget dengan kelakuan bejat pengasuh ponpes tersebut. NS tak mengingat betul berapa kali dia mendapatkan perlakuan bejat seperti.
"Saya tak bisa ingat, kalau saya ingat-ingat terus dada saya sesak. Intinya lebih dari tiga kali," ucapnya setelah menghela nafas yang cukup panjang.
NS sempat diam sekitar 30 detik, hanya terdengar suara terenga-engah.
"Awalnya dia itu mencium terus sampai meraba-raba ke bagian intim, saya tak bisa apa-apa. Saat itu saya tak berani bercerita kepada siapapun," ucapnya.
Kelakuan tersangka itu tak membuatnya nyaman. Setelah lebaran, NS berniat untuk keluar dari pondok pesantren tersebut. Namun, saat ijin mau keluar pondok pesantren atau istilah santri "boyong" tak diperbolehkan pengasuh ponpes.
"Saat itu saya tak berani bercerita. Apalagi saya punya kedekatan dengan istri pengasuh ponpes tersebut," paparnya.
Setelah tak diperbolehkan untuk keluar, NS terpaksa tetap tinggal di pesantren tersebut. Hari-harinya dihantui dengan perasaan cemas dan rasa takut karena setiap hari melihat wajah pelaku pelecehan seksual tersebut.
Singkat cerita, NS mendapat tawaran tersangka yang akan menjodohkan NS dengan salah satu ustadz di pesantren tersebut. Tawaran tersebut dia terima dengan sejumlah syarat.
"Saya langsung terima asalkan saya tak dilecehkan lagi," katanya memberi syarat kepada pengasuh ponpes tersebut.
Saat itu, tersangka menyetujui kesepakan yang ditawarkannya. Akhirnya dia dan ustadz tersebut melakukan tunangan. NS merasa lega karena akan ada sesorang yang akan menjaganya.
Namun, kenyataanya tak seperti apa yang NS bayangkan. Setelah tunangan, pengasuh ponpes tersebut berdusta. Pengasuh ponpes itu tetap mencabuli NS meski sudah tunangan.
"Sebenarnya saya mau triak, namun tak bisa," ujarnya.
Setelah tak kuat, akhirnya NS buka suara kepada pihak keamanan pondok pesantren tersebut. Namun, kemanan pondok tak menggubris keluhannya.
"Saya memaksa untuk keluar, akhirnya saya bisa keluar pondok," ucapnya.
Untuk mengobati rasa traumanya itu, NS hanya bisa melakukan pijat saraf karena tak punya biaya ke psikiater. Sampai saat ini, NS masih sering kaget ketika mendengar suara pintu yang terbuka.
Ketika mendengar suara pintu, dia terbayang-bayang wajah tersangka yang merupakan pengasuh pondok pesantren tempat dia mengajar.
"Saya juga sering memarahi istri saya kadang-kadang. Karena sering ketakutan kalau ada suara pintu terbuka. Tapi saya memaklumi hal itu," ucapnya FI suami korban beberapa waktu yang lalu.
Tidak hanya ustadzah, santriwati di bawah umur juga jadi korban
Beberapa waktu yang lalu, juga viral video perjuangan seorang ayah selama tiga tahun menuntut kepastian hukum karena anaknya diduga dilecehkan oleh pengasuh pondok pesantren tempat NS mengajar.
Dalam video tersebut terlihat seorang pria menggunakan topi merah, baju hitam dan tas terlihat menggunakan tongkat untuk berjalan kaki dari Kota Semarang menuju Mabes Polri Jakarta.
Video tersebut viral setelah dibagikan akun tiktok @sahabat.relawan beberapa hari yang lalu. Sampai saat ini, postingan tersebut sudah dilihat ribuan orang.
Setelah ditelusuri, pria tersebut merupakan Riko Mamura Putra, warga Kelurahan Kauman, Kota Semarang. Dia adalah orang tua dari korban yang diduga dilecehkan oleh kiai pondok pesantren putrinya.
"Ketika kami laporkan 22 Febuari 2019 hanya taunya kekerasan fisik saja," jelaanya saat dihubungi suara.com beberapa waktu yang lalu.
Setelah korban yang merupakan anak kandungnya itu diperiksa ternyata tak hanya mendapatkan kekeraan fisik namun juga pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren.
"Hasil dari pemeriksaan, putri saya disentuh bagian sensitifnya," ujarnya.
Dia mengabarkan, putrinya sudah mondok di Pondok Pesantren tersebut sejak tahun 2015. Saat itu, putrinya adalah satu angkatan pertama. Di tahun yang sama itu, bangunan pondok belum ada. Para santri belajar dan tidur di rumahnya.
"Saya duga pelecahan seksual dan kekerasan itu dilakukan sekitar tahun 2015 - 2016 menjelang akhir," paparnya.
Karena kasus yang dijalani putrinya itu dirasa lambat, dia melakukan salat istikharah. Setelah itu, Riko mantap untuk melakukan aksi jalan kaki dari Semarang menuju Mabes Polri Jakarta.
"Saya tanggal 6 istikharah dan tanggal 7 Desember mantab melakukan perjalanan ke Mabes Polri dengan jalan kaki," katanya.
Dia mengaku sudah mulai lega karena pengasuh ponpes tersebut sudah sempat dipanggil oleh polisi, meski tersangka diketahui tak hadir dalam pemeriksaan tersebut.
"Saya mendukung polisi agar cepat menyelesaikan kasus yang menimpa anak saya. Tak menutup kemungkinan jika kasusnya tak kunjung ada putusan, saya akan jalan kaki lagi ke Mabes Polri," paparnya.
Saat dihubungi, Kasatreskrim Polres Demak AKP Agil WS mengaku sudah melakukan pemanggilan kepada pengasuh ponpes.
"Saat ini masih proses pemanggilan, sudah pernah dipanggil satu kali," jelasnya.
Bantuan Hukum
Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRCKJHAM), Citra Ayu mengatakan, maraknya kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren, ini seperti fenomena gunung es.
"Pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi santri untuk menuntut ilmu ini malah sebaliknya, sangat kita sayangkan sekali ya," ujarnya.
Dia berpesan kepada korban agar tak takut untuk bercerita ke orang tedekat terkait kekerasan yang dialami di ponpes. Korban bisa segera lapor ke orang tua atau teman terdekat yang bisa di percaya
"Jangan takut untuk melawan," pesannya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Semarang Raden Rara Ayu menambahkan, kekerasan Seksual tidak dipungkiri rentan terjadi di lingkungan pendidikan antaralain di pondok pesantren.
"Harapannya, Pondok Pesantren sebagai ruang aman dan nyaman tanpa kekerasan untuk para santri, guru pengajar dan orang-orang yang berada di lingkungan pesantren, namun terkadang kekerasan menjadi suatu pola dalam sistem pengajaran karena dianggap wajar dan nilai patuh," keluhanya.
Dia menegaskan, LBH APIK Semarang menolak langkah mediasi dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, karena dikhawatirkan tidak ada efek jera untuk pelaku.
"Dan mengganggap perbuatan pelaku tersebut adalah hal biasa saja sehingga langkah mediasi tidak memberikan rasa keadilan bagi korban yang menanggung trauma seumur hidup," ujarnya,
LBH APIK Semarang mencatat di Catatan Tahunan LBH APIK Semarang di tahun 2021 ini menyebut kekerasan yang terjadi di dalam pondok pesantren diselesaikan secara mediasi, termasuk pada kasus kekerasan Seksual, apalagi jika pelaku adalah guru besar di pondok pesantren tersebut.
"Kita akan menolak langkah mediasi itu," tegasnya.
Kontributor : Dafi Yusuf