Nyadran di Dusun Krecek dan Gletuk menjadi pembuka rangkaian tradisi serupa di 7 dusun lainnya: Porot, Banyu Urip, Cendono, Kemiri, Nglarangan, Getas, dan Pringapus.
![Nyadran lintas agama di Dusun Krecek dan Gletuk, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/03/04/94371-nyadran-lintas-agama.jpg)
Akulturasi Jawa-Islam
Sejauh catatan sejarah yang diketahui, tradisi mengunjungi atau merawat makam leluhur sudah ada sejak zaman Majapahit. Raja Hayam Wuruk tercatat -sedikitnya- pernah melakukan 6 kali perjalanan keliling daerah kekuasaannya untuk menyambangi candi-candi yang dibangun para leluhur.
Tidak hanya menziarahi candi peninggalan leluhur, dalam perjalanan itu Hayam Wuruk juga menggelar ritual khusus bagi keluarga yang telah meninggal. Upacara ini dikenal sebagai sraddha atau upacara mengenang arwah.
Baca Juga:Brak! Truk kontainer Tabrak Bangunan Termasuk Showroom di Temanggung, 12 Motor Tergilas
Saat Islam masuk ke Nusantara, tradisi sraddha mengalami akulturasi budaya menjadi nyadran. Waktu pelaksanaannya dipilih di bulan Rojab atau Ruwah (Syaban).
Ruwah sendiri sering dikonotasikan oleh orang Jawa sebagai bulan ruh atau bulan arwah. Dalam Islam, bulan Rojab dan Syaban adalah bulan penting sebagai persiapan menghadapi Bulan Suci Ramadan.
Di beberapa daerah di Magelang-Temanggung terutama di kawasan lereng Merapi, Merbabu, dan Sumbing, perayaan nyadran bahkan lebih semarak dibandingkan Lebaran.
Panitian dusun mendata sanak keturunan yang leluhurnya dimakamkan di makam dusun. Utusan khusus akan dikirim untuk menyampaikan undangan nyadran secara lisan.
Keluarga yang tinggal jauh di perantauan dikabari dan diharapkan pulang saat nyadran.
Baca Juga:DPC Partai Gerindra Kabupaten Temanggung Laporkan Edy Mulyadi ke Polisi
Upacara nyadran biasanya dipusatkan di kompleks pemakaman dusun. Jika tempatnya tidak memungkinkan untuk menampung banyak orang, acara diadakan di halaman masjid atau mushola.