SuaraJawaTengah.id - Legalisasi ganja di Indonesia terus menjadi polemik. Pasalnya selama ini ganja masuk dalam kategori narkotika golongan 1 setara dengan heroin, kokain, morfin, dan opium.
Namun baru-baru ini, wacana legalisasi ganja untuk kepentingan medis kembali mencuat setelah seorang ibu bernama Santi Warastuti beraksi menyuarakan aspirasinya di acara Car Free Day DKI Jakarta.
Ia memohon pertolongan ketersediaan ganja medis bagi anaknya, Pika, yang mengidap cerebral palsy atau kelumpuhan otak.
Hal ini kemudian mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan termasuk Wapres Ma'ruf Amin. Dirinya merespons wacana tersebut dan mendorong adanya kajian tentang ganja untuk keperluan medis.
Baca Juga:Respon Permintaan Maruf Amin, MUI Kaji Hukum Ganja Medis
Lalu bagaimana legalisasi ganja medis dari kacamata hukum? Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Profesor Hibnu Nugroho menyebut jika hukum harus bersifat progresif.
"Dari segi hukum ganja itu kalau sekarang memang tidak boleh. Padahal hukum itu harus bersifat progresif untuk kepentingan manusia. Makanya harus hukum lah yang diubah," katanya kepada Suarajawatengah.id, melalui sambungan telepon, Kamis (30/6/2022).
Dalam hal ini, Prof Hibnu mengatakan legislasinya harus dikecualikan. Prinsip penggunaan ganja tidak diperbolehkan kecuali untuk kepentingan yang lebih bermanfaat.
"Jadi menggunakan asas lex spesialis. Kecuali untuk pengobatan atau untuk keadaan darurat. Itu saya kira boleh. Tapi memang harus ada rujukannya. Sehingga ada kepastian dan parameter yang jelas, kepentingan medis yang bagaimana? Prinsipnya kok saya (memandang) boleh ya," jelasnya.
Menurutnya ada aturan yang menyebut ketentuan umum mengecualikan undang-undang khusus. Dalam hal ini ganja medis bisa dikhususkan berdasarkan ketentuan hukum.
Baca Juga:Halal Watch Tolak Indonesia Melegalkan Ganja
"Aspek hukum bisa. Tinggal parametermya bagaimana? Itulah yang harus dibuat suatu regulasi. Sehingga ada asas kepastian bagi kepentingan medis atau kepentingan yang lain," terangnya.
Jika ini bisa terealisasi, Prof Hibnu menegaskan harus ada regulasi yang jelas. Baik itu dari segi pengawasan maupun standarnya. Tujuannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Jadi begitu dikecualikan pun saya sepakat boleh tapi harus ada pengawasan, standarisasinya, kemudian kepentingan medis yang bagaimana yang harus menggunakan ganja, kan harus jelas. Untuk menghindari penyalahgunaan di lapangan," tuturnya.
Jika dilihat dari sejarahnya, Prof Hibnu memandang ganja menjadi sesuatu yang dilarang karena membahayakan. Sehingga terciptalah UU Narkotika. Namun ia menyarankan UU Narkotika segera direvisi.
"Karena sudah banyak juga negara yang melegalkan dan banyak varian baru yang tidak dimuat di dalam UU Narkotika. Sehingga kesulitan bagi penegak hukum untuk menerapkan pasal apa yang harus terjadi. Kan hanya kategorinya," ungkapnya.
Varian-varian baru menurutnya banyak. Sehingga perlu adanya rincian yang perlu dirumuskan dan disebutkan dalam UU Narkotika. Termasuk untuk kaitannya perkembangan medis ini bisa dikecualikan.
"Itu komprehensif, jadi hukum betul-betul merespons kepentingan masyarakat banyak. Sampai Wapres itu kan minta fatwa, karena dasarnya belum jelas. Coba kalau itu dirumuskan dalam UU Narkotika baru saya kira semakin jelas," katanya.
Hal ini dikarenakan perkembangan dinamika masyarakat serta dinamika perkembangan pengobatan-pengobatan untuk kepentingan masyarakat. Sehingga harus dibuatkan regulasi ada kepastian bagi yang memakai dan memberikan suatu rehabilitasi.
"Pada dasarnya saya setuju (legalisasi ganja medis). Karena untuk kepentingan tertentu dengan batas-batas yang tegas," tutupnya.
Kontributor : Anang Firmansyah