SuaraJawaTengah.id - Menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memang hal yang sangat sulit dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Apalagi keadaan ekonomi Nasional masih belum stabil.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyebut keputusan untuk menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir pemerintah.
"Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian, dan sebagian subsidi BBM akan dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran," kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Sabtu (4/9/2022).
Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan resmi tersebut dengan didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Baca Juga:Harga BBM Naik, Sopir Sebut Ongkos Travel di Riau Bakal Ikutan Naik
Dalam konferensi pers tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi pertalite dari Rp7.650,00 per liter menjadi Rp10 ribu/liter; solar bersubsidi dari Rp5.150,00/liter menjadi Rp6.800,00/liter; dan pertamax nonsubsidi dari Rp12.500,00/liter menjadi Rp14.500,00/liter yang berlaku sejak Sabtu, 3 September 2022, pukul 14.30 WIB.
"Mestinya uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu dan saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit," ungkap Presiden dikutip dari ANTARA.
Pemerintah, menurut Presiden Jokowi, telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia.
"Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari APBN. Akan tetapi, anggaran subsidi dan kompensasi BBM pada tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun," kata Presiden.
Nilai subsidi BBM tersebut, kata Presiden Jokowi, juga terus meningkat.
Baca Juga:BBM Naik, Ini Perubahan Tarif Angkot di Sukabumi
"Dan lagi lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi," kata Presiden.
Pemerintah sudah menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) BBM sebesar Rp12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu sebesar Rp150 ribu/bulan dan mulai diberikan pada bulan September selama 4 bulan.
Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta/bulan dalam bentuk bantuan subsidi upah yang diberikan sebesar Rp600 ribu.
"Saya juga telah memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan 2 persen dana transfer umum sebesar Rp2,17 triliun untuk bantuan angkutan umum bantuan ojek online dan untuk nelayan," kata Presiden.
Presiden mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen agar penggunaan subsidi yang merupakan uang rakyat harus tepat sasaran.
"Subsidi harus lebih menguntungkan masyarakat yang kurang mampu," ungkap Presiden.
Minyak Dunia Turun, Harga BBM di Indonesia Naik
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM di pasar domestik karena belanja subsidi tetap meningkat di APBN Tahun 2022 meskipun harga minyak dunia menurun dalam beberapa waktu terakhir.
Sri Mulyani dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu, mengatakan pemerintah melakukan perhitungan dengan berbagai skenario perubahan harga minyak mentah Indonesia ("Indonesian Crude Price"/ICP) dan dampaknya terhadap besaran subsidi di APBN tahun berjalan.
Dengan asumsi ICP berada di bawah harga 90 dolar AS per barel ataupun mengambil asumsi rata-rata dalam satu tahun di rentang 97-99 dolar AS per barel, maka belanja subsidi energi tetap akan naik dari anggaran yang dialokasikan pemerintah sebesar Rp502,4 triliun.
"Dengan perhitungan ini, maka angka kenaikan subsidi yang waktu itu sudah disampaikan di media dari Rp502 triliun tetap akan naik, tidak menjadi Rp698 triliun, namun Rp653 triliun, kami terus melakukan penghitungan," ujar Sri Mulyani dikutip dari ANTARA.
Sri Mulyani memberikan gambaran jika harga ICP berada di 85 dolar AS per barel, maka subsidi akan tetap bertambah dari Rp502 triliun menjadi Rp640 triliun.
"Ini adalah kenaikan Rp137 triliun atau Rp151 triliun tergantung dari harga ICP," ujarnya.
Pemerintah, kata Sri Mulyani, akan terus mencermati harga minyak dunia karena kondisi geopolitik dan proyeksi ekonomi dunia yang masih sangat dinamis.
Presiden Jokowi menyatakan pemerintah akan mengalihkan subsidi BBM untuk bantuan sosial yang lebih tepat sasaran. Karena itu, dengan adanya pengalihan subsidi BBM, maka akan terjadi penyesuaian harga BBM.
BLT Siap Dikucurkan
Risma mengatakan berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, maka data penerima manfaat seharusnya diperbaiki setiap bulan.
"Sebenarnya di UU setiap tahun dua kali (perbaikan) tapi karena kondisi perubahan di daerah tersebut cukup pesat, maka kemudian kita melakukan perubahan setiap bulan. Setiap bulan kita membuat SK (surat keputusan) baru dan itu masukan dari daerah dan 'Usul Sanggah' tadi, jadi masyarakat bisa mengusulkan sendiri tapi memang harus kita verifikasi," jelas Risma dikutip dari ANTARA.
Apalagi berdasarkan UU No.13 Tahun 2011, kewenangan perbaikan data berada di pemerintah daerah.
"Daerah memang harus 'update' apakah ada yang meninggal, kami juga 'cross check' dengan data kependudukan dan sebagainya jadi kalau dengan data kependudukan 'clear', kita juga mendapat penilaian dari KPK cukup bagus," ungkap Risma.
Mengorbankan Reputasi
Menyadur dari BBC Indonesia, Analis kebijakan publik, Lina Miftahul Janna, menilai langkah menaikkan harga BBM bersubsidi dengan dalih penghematan APBN adalah kebijakan yang "separuh-separuh".
"Contoh, biaya perjalanan [pejabat] itu masih dibuka kerannya. Biaya rapat, itu hal-hal yang bisa dikurangi dengan cukup signifikan. Jadi dievaluasi perjalanan dinas yang harus dengan golongan sekian, di hotel bintang sekian. Dengan kamar kelas sekian. Bisa dikurangi, bisa menghemat banyak," kata Lina.
Sementara itu, Direktur Riset Senior dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah memperkirakan pemerintah bisa menghemat sebesar Rp76 triliun dari kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi.
Hitungan ini dengan asumsi menaikkan harga pertalite menjadi Rp10.000/liter dari sebelumnya Rp7.650/liter.
"Penghematannya terlalu sedikit untuk risiko yang terlalu besar," kata Piter dikutip dari BBC Indonesia.
Risiko besar tersebut adalah "lonjakan inflasi sangat besar" yang ia perkirakan tahun ini berada di angka 6 - 10%. Inflasi ini akan berdampak pada daya beli masyarakat yang menurun, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan investasi terhambat.
"Pembukaan lapangan kerja juga tidak akan maksimal, artinya pengangguran akan bertambah," kata Piter.
Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi juga bukan hanya menyasar kelompok miskin, tapi juga menengah, termasuk industri.
"Keputusan menaikkan BBM bersubsidi itu berisiko besar yang akan mempertaruhkan reputasi pemerintah, reputasi Pak Jokowi," tambah Piter.
BLT itu tidak mengurangi dampak negatif kenaikan harga BBM bersubsidi. Sakitnya tetap dirasakan, ibarat, "Semua orang digebuki, sebagian dikasih permen," kata Piter.
Piter mengatakan pemerintah masih bisa mengambil opsi lain dengan tidak menaikkan BBM bersubsidi. Di antaranya tetap menahan harga BBM bersubsidi seperti saat ini, karena pemulihan perekonomian masih berlanjut hingga tahun-tahun mendatang. Menurutnya "pelebaran defisit (APBN) itu nggak besar-besar banget".
Kedua, membuat produk bahan bakar baru antara Pertalite dan Pertamax. Cara ini pernah dilakukan saat pemerintah menghapus produk BBM Premium dengan RON 88.
"Dengan cara ini, orang tidak berbondong-bondong belinya Pertalite, karena ada pilihan yang lebih baik," katanya.