Dokter Nur mengatakan ada faktor sosial-budaya juga yang mempengaruhi rendahnya angka vasektomi di Indonesia.
"Karena memang orang Indonesia umumnya paternalistik, jadi laki-laki mau menang sendiri. Lalu faktor pendidikan dan pemahaman soal ini yang juga masih kurang. 'Kalau bisa yang susah [pakai kontrasepsi] bukan saya, kenapa harus saya?'" kata Dokter Nur.
Kyai Haji Marzuki Wahid dari Institut Studi Islam Fahmina —lembaga pendidikan Islam yang berfokus pada kajian gender dan hak asasi manusia— sepakat soal adanya ketimpangan dalam urusan kontrasepsi.
"Asumsinya sering kali menganggap karena perempuan mereproduksi manusia, sehingga perempuan lah yang harus kontrasepsi. Mereka tidak sadar bahwa menghasilkan keturunan itu adalah buah dari kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan," kata Marzuki.
Baca Juga:Tingkatkan Upaya Pencegahan Narkoba, Pj Gubernur Jateng Gagas Lomba Desa Bersinar
Dokter spesialis urologi, dr Nur RasyidSelain itu Marzuki mengatakan perdebatan juga masih kerap muncul soal halal atau haramnya vasektomi, berdasar pada penafsiran keyakinan yang berbeda-beda.
Vasektomi pernah dianggap “haram” lewat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada era 1970-an.
Pada 2012, MUI mengubah fatwanya menjadi membolehkan vasektomi sepanjang “tujuannya sesuai syariat” dan “tidak memandulkan secara permanen”.
Marzuki sendiri berpandangan bahwa vasektomi (dan tubektomi) boleh dilakukan sepanjang bertujuan sebagai ikhtiar untuk mensejahterakan keluarga.
"Misalnya kalau saya vasektomi atau tubektomi itu kan bukan berarti membatasi, tapi saya ingin mengatur keturunan saya sesuai kesejahteraan dan kemaslahatan yang saya bayangkan. Jadi tidak bisa dianggap apakah itu membatasi secara dini," ujar Marzuki.
Baca Juga:Efek Domino Perkawinan Anak, Stunting hingga Masalah Psikologis Ancam Masa Depan
Namun perubahan fatwa MUI ternyata juga “belum signifikan” membuat lebih banyak laki-laki melirik vasektomi, kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo.
Hasto mengeklaim pihaknya sudah terus mensosialisasikan opsi ini melalui program vasektomi gratis dan pemberian insentif Rp300.000 untuk akseptornya. Tetapi dia juga mengakui bahwa mencari orang yang mau memilih vasektomi juga “tidak mudah”.