Hal ini bukan berarti hari tersebut "terlarang", namun lebih karena sifat energinya yang panas dan berpotensi menciptakan ketegangan.
Diyakini bahwa pasangan yang menikah di hari Selasa Pahing berpeluang memiliki rumah tangga yang dinamis, namun juga penuh benturan ego.
Karena itu, biasanya keluarga akan mempertimbangkan “penyangga neptu” seperti weton calon pengantin, hari pasaran orang tua, serta elemen lainnya untuk menyeimbangkan energi tersebut.
Sebagai contoh, jika kedua pengantin memiliki weton dengan neptu rendah (misalnya Minggu Wage = 9), maka menikah di hari Selasa Pahing dengan neptu 12 dapat menimbulkan ketimpangan energi.
Baca Juga:Weton Senin Pahing: Jejak Karakter, Rezeki, dan Jodoh Menurut Primbon Jawa
Hal ini bisa dimaknai sebagai simbol bahwa salah satu pihak akan lebih dominan dalam pernikahan, atau rumah tangga berisiko tidak harmonis kecuali diimbangi dengan doa-doa dan tirakat.
Bagaimana dengan Hajatan Lain?
Sementara untuk hajatan lain seperti khitanan, selamatan rumah, atau syukuran, Selasa Pahing sebenarnya tergolong netral.
Energi “kuasa” yang dibawa hari ini justru bisa memperkuat niat baik dalam menyelenggarakan acara yang bersifat kolektif atau sosial.
Namun tetap, beberapa kalangan spiritual Kejawen menyarankan untuk memperhatikan aspek jam acara dan arah hadap tempat hajatan.
Baca Juga:Ramalan Sabtu Legi Menurut Kitab Primbon Jawa: Hari Baik untuk Introspeksi dan Penyucian Diri
Misalnya, bila hajatan dilakukan pagi hari sebelum pukul 09.00 WIB, maka energi panas Selasa Pahing masih terkendali dan dianggap aman. Selain itu, menghadap arah selatan atau barat dalam prosesi acara juga dipercaya bisa menetralkan energi negatif.
Memilih hari baik dalam pernikahan atau hajatan memang menjadi bagian penting dalam tradisi Jawa.
Namun sebagaimana diajarkan para leluhur, niat yang tulus dan doa yang sungguh-sungguh jauh lebih utama daripada sekadar hitungan hari.
Selasa Pahing bukan hari terburuk, namun ia juga bukan pilihan paling utama untuk acara sakral seperti pernikahan, kecuali dibarengi dengan niat baik, kesiapan lahir-batin, dan laku spiritual yang seimbang.
Seperti ungkapan Jawa kuno: “Hari bisa dicari, tapi ridha Gusti Allah yang menentukan.” Maka, segala persiapan dan keyakinan tetap harus dikembalikan pada kehendak Yang Maha Kuasa.