Melihat Sejarah Loji Manggoran, Saksi Agresi Militer Belanda II di Magelang

Agresi Militer II Belanda menargetkan Yogyakarta, memaksa pemindahan ibu kota & kantor Bupati Magelang ke pengungsian. Loji Manggoran jadi saksi bisu pemerintahan darurat.

Budi Arista Romadhoni
Minggu, 10 Agustus 2025 | 11:07 WIB
Melihat Sejarah Loji Manggoran, Saksi Agresi Militer Belanda II di Magelang
Loji Manggoran di Desa Bondowoso menjadi saksi sejarah pergolakan perjuangan kemerdekaan RI. (Suara.com/ Angga Haksoro A). 

SuaraJawaTengah.id - Agresi militer Belanda II menjadi salah satu momen kritis dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beberapa peristiwa penting terjadi selama kurun waktu yang pendek itu.

Tanggal 19 Desember 1948. Pukul 05.30, tiga pesawat North American B-25 Mitchell milik Belanda dari Skuadron 18, membuka serangan. Bom dijatuhkan tepat ke landas pacu lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta.

Serangan itu sekaligus mengumumkan bahwa Belanda resmi melancarkan agresi dengan sandi Operatie Krai—Operasi Gagak.

Pada salah satu perut B-25, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor memimpin komando. 

Baca Juga:14 Tahun Mencari Jalan Keluar, Sabrang Letto: Indonesia Terjebak 'Deadlock Stupidity''

Berselang satu jam, ia memerintahkan pesawat Dakota menerjunkan dua kompi pasukan lintas udara Korps Speciale Tropen (KST) yang kebanyakan diisi orang-orang Timor dan Ambon.

Sejak 16 Desember mereka bersiap di lapangan terbang Andir, Bandung untuk diterjunkan ke Yogyakarta. 

Pada hari pertama penyerbuan, 2.600 pasukan dan 80 jip berhasil mendarat.

Selain menguasai lapangan terbang Maguwo, misi utama Operasi Gagak adalah menangkap Presiden Soekarno, Perdana Menteri Hatta, serta pejabat Republik Indonesia lainnya yang berkantor di Yogyakarta.

Akibat serangan tersebut, ibu kota negara dipindahkan ke Bukittinggi, Sumatra Barat. 

Baca Juga:Imbas KA Argo Bromo Anggrek Anjlok, Lintas Selatan Jawa Lumpuh! 20 Perjalanan Dibatalkan Hari Ini

Sjafruddin Prawiranegara memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Kantor Bupati di Pengungsian

Loji Manggoran di Desa Bondowoso menjadi saksi sejarah pergolakan perjuangan kemerdekaan RI. (Suara.com/ Angga Haksoro A). 
Loji Manggoran di Desa Bondowoso menjadi saksi sejarah pergolakan perjuangan kemerdekaan RI. (Suara.com/ Angga Haksoro A). 

Agresi militer Belanda II juga berdampak terhadap daerah-daerah di pinggiran Yogyakarta. 

Kabupaten Magelang sempat beberapa kali memindahkan kantor pusat pemerintahannya ke tempat pengungsian.

Dari kantor pusat pemerintahan yang sekarang ditempati Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Bupati Magelang era 1946-1954, R Joedodibroto pernah berkantor di 4 tempat pengungsian.

Saat situasi memanas pasca serbuan ke lapangan udara Maguwo, tersiar kabar pasukan Belanda bergerak menuju Magelang. 

Mengantisipasi serangan, Bupati Joedodibroto memutuskan memboyong staf-nya ke lokasi pengungsian di Dusun Clebung, Desa Soronalan, Kecamatan Sawangan.  

Begitu merasa lokasi pengungsian mulai tercium Belanda, Joedodibroto kembali memindah kantornya ke Dusun Manggoran, Desa Bondowoso, Kecamatan Mertoyudan.

Kantor pusat pemerintahan secara berturut-turut dipindah ke Desa Bojong, Kecamatan Mungkid dan Desa Jumbleng, Muntilan, sebelum kembali ke tempat lama setelah situasi berangsur aman.

Loji Manggoran

Dari 4 rumah pengungsian yang pernah menjadi kantor pusat pemerintahan darurat Kabupaten Magelang, kediaman H Achmad Marzuki di Dusun Manggoran yang masih terawat dan terjaga keaslian bangunannya.

“Pak Broto (Bupati Magelang, R Joedodibroto) hampir empat bulan tinggal di sini. Tidak hanya Bupati, seluruh staf-nya juga berkantor di sini. Jadi jalannya pemerintahan Kabupaten Magelang ya dari sini,” kata A Masduki Irawanto.  

Masduki adalah cucu dari H Achmad Marzuki. Ibunya, Asiyah adalah putri semata wayang H Achmad Marzuki.  

Orang sekitar mengenal rumah H Achmad Marzuki dengan sebutan Loji Manggoran. 

Loji secara umum dipakai untuk menyebut bangunan besar— biasanya bergaya Eropa— yang dipakai sebagai kantor, tempat tinggal, atau pusat kegiatan dagang pada masa penjajahan Belanda.

Rumah Juragan Tembakau

 A Masduki Irawanto, cucu H Achmad Marzuki pemilik Loji Manggoran di Desa Bondowoso, Mertoyudan. (Suara.com/ Angga Haksoro A).    
 A Masduki Irawanto, cucu H Achmad Marzuki pemilik Loji Manggoran di Desa Bondowoso, Mertoyudan. (Suara.com/ Angga Haksoro A).    

Semasa hidup Achmad Marzuki adalah juragan sukses yang menguasai jaringan perdagangan tembakau hingga ke Jawa Timur.

Dengan luas rumah hampir 600 meter persegi, Loji Manggoran memiliki beberapa ruangan besar yang dulu digunakan untuk menyimpan daun-daun mole.   

“Kakek saya pedagang tembakau. Sudah lama berdagang sampai Surabaya. Beli tembakau di sini terus dijual ke Jawa Timur. Punya langganan pabrik-pabrik rokok, mayoritas di Jawa Timur. Termasuk luas juga wawasannya.”

Loji Manggoran menjadi salah satu bukti luasnya wawasan berpikir dan pergaulan H Achmad Marzuki.

Tidak hanya kaya raya, Achmad Marzuki punya selera membangun rumah setara dengan orang-orang Eropa.

Menurut sertifikat cagar budaya yang diterbitkan Pemkab Magelang tanggal 1 Desember 2020, bangunan Loji Manggoran bergaya indis.

Jendela dan pintunya bergaya Indische empire style yang menggambarkan adaptasi terhadap iklim tropis yang dipengaruhi budaya Jawa.       

Semua material rumah diambil dari bahan-bahan bangunan kelas satu. Batu gamping yang dipakai untuk membangun tembok, didatangkan dari Tulungagung.

Semua kusen termasuk bilah pintu dan jendela, berbahan kayu jati yang didatangkan khusus dari Nganjuk.    

“Semua masih asli. Pintu, jendela, kusen, sampai kayu reng dan usuk bahannya dari kayu jati. Semua masih asli termasuk genteng. Plafon-nya dari seng. Itu juga masih zaman Belanda,” kata Masduki.

Makan Aman di Pengungsi

Sebagai juragan sukses, H Achmad Marzuki juga dikenal dermawan. Selama dua bulan, ia menerima dan menanggung kebutuhan makan seluruh pengungsi yang menghindar dari perang selama masa agresi militer Belanda II.

Keluarga H Achmad Marzuki menyediakan ransum makan 2 kali sehari untuk semua pengungsi. Rata-rata menghabiskan 20 kilogram beras setiap hari.

“Orang yang mengungsi tidak hanya Bupati Magelang. Karena diluar tidak aman, banyak orang ikut mengungsi ke sini. Itu yang menjamin (kebutuhan makan) keluarga kami. Ada ratusan orang. Kami bikin dapur umum.”

Selama kantor pemerintahan Bupati Magelang berada di pengungsian Loji Manggoran, tidak sekalipun pasukan Belanda datang menyerbu.

Menurut Masduki, dulu akses jalan menuju Loji terbilang sulit.

Saat itu jalan masuk menuju Loji Manggoran masih berupa tanah liat. Jalan becek berlumpur sangat sulit dilewati terutama setelah turun hujan.    

“Rumah kami dipilih terutama karena dianggap aman untuk tempat mengungsi. Kedua masalah kelayakan tempat. Untuk menampung staf karyawan kabupaten saat itu tidak sembarangan.”

Foto Bupati Joedodibroto

Keluarga Masduki menerima uang kompensasi sebesar Rp150 ribu setiap bulan karena menempati bangunan cagar budaya.

Jumlah itu sangat kecil dibanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat rumah tua.

Tapi Masduki tidak keberatan. Dia mengaku memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk menjaga kelestarian bentuk bangunan bersejarah ini.  

Dia hanya meminta Bupati Magelang, Grengseng Pamuji bersedia berkunjung ke Loji Manggoran dan meninggalkan kenang-kenangan repro foto atau lukisan wajah Bupati R Joedodibroto.

“Kami hanya minta foto (Bupati R Joedodibroto). Di kabupaten kan pasti ada. Jadi tamu yang datang bisa melihat, ini bupati Magelang yang dulu pernah berkantor disini. Ada bukti sejarahnya.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak