- Video udara penampakan tanah merah luas di Banyuwangi memicu kecemasan publik dan dugaan penggundulan hutan.
- Kondisi ini diduga akibat aktivitas pertambangan tidak terkendali di kawasan Tumpang Pitu, Jawa Timur.
- Warga Banyuwangi mengkhawatirkan potensi bencana alam seperti banjir dan longsor akibat kerusakan lingkungan tersebut.
Dalam video yang beredar, terlihat bahwa kawasan tanah merah yang luas ini diduga merupakan bekas tambang atau lahan yang telah dibuka untuk tujuan lain, yang meninggalkan jejak kerusakan permanen pada tanah dan ekosistem.
Banyak warganet yang merasa khawatir bahwa kondisi ini dapat memperburuk bencana alam seperti longsor dan banjir yang sering melanda daerah-daerah di sekitar kawasan tersebut.
Kondisi Alam yang Rentan terhadap Bencana Alam
Banyuwangi, yang dikenal dengan keindahan alamnya, ternyata memiliki kondisi alam yang sangat rentan terhadap bencana alam, khususnya banjir dan tanah longsor.
Proses alih fungsi lahan yang tidak terkendali, tanpa memperhatikan dampak lingkungan, telah menyebabkan kerusakan pada ekosistem alam dan merusak keseimbangan alam yang ada.
Saat ini, perubahan di Banyuwangi menjadi bahan pembicaraan banyak pihak. Bagi sebagian orang, kerusakan alam ini menjadi pengingat akan pentingnya keberlanjutan alam.
Salah satu pengguna Instagram, @rivankuryk, memberikan pandangan tentang perubahan yang terjadi di wilayah tersebut, "Dusun pancer ..desa pulau merah yes my village, dan gunung tumpang pitu yang gagah menjulang kini hilang tak lagi rindang bagi penghuninya."
Kondisi ini mencerminkan ketidakseimbangan yang terjadi akibat kerusakan lingkungan yang terus meluas, yang berpotensi mengancam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan tersebut.
Saat ini, masyarakat berharap adanya perhatian lebih besar dari pemerintah dan pihak terkait untuk menangani masalah ini secara serius, mengingat dampaknya yang dapat merusak kualitas hidup mereka dan generasi mendatang.
Baca Juga:Siap-siap Pengusaha Tambang, Pemprov Jateng Bakal Siapkan Perda Pengelolaan Pertambangan Mineral
Kontributor : Dinar Oktarini