Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Rabu, 29 Mei 2019 | 18:40 WIB
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat melayat ke rumah duka petugas KPPS. (Suara.com/Adam Iyasa)

SuaraJawaTengah.id - Ombudsman Jawa Tengah menilai autopsi ulang menjadi satu-satunya cara yang paling rasional dalam mengungkap kasus kematian para pejuang demokrasi saat gelaran Pemilu 2019.

Pengungkapan kematian ratusan petugas KPPS dan PPS masih stagnan. Bahkan masih menggunakan dalil-dalil asumsi, baik oleh lembaga pemilu, Dinas Kesehatan, bahkan Kepolisian sekalipun.

"Dalih aparat kepolisian yang berasumsi tanpa disertai bukti yang kuat, tidak akan bisa menyelesaikan persoalan tersebut," kata Pelaksana tugas Kepala Ombudsman Jawa Tengah, Sabaruddin Hulu, di Semarang, Rabu (29/5/2019).

Karenanya, pihaknya mendesak Kepolisian melakukan autopsi terhadap para petugas KPPS maupun anggota TPS yang mengalami musibah selama Pemilu 2019 kemarin.

Baca Juga: Tak Ada Kejanggalan KPPS Meninggal, Ini Hasil Investigasi Penuh Komnas HAM

"Tak ada data audit yang pasti, korban meninggal ini masih sebatas audit verbal saja. Seperti yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Padahal itu belum bisa dijadikan patokan data permanen. Masih sekedar data yang terus berjalan hingga kini," ujarnya.

Adanya autopsi ulang, kata Sabaruddin dimungkinkan tidak akan ada lagi gejolak terkait kejanggalan meninggalnya para petugas pemilu. Kendati belum ditemukan kejanggalan kematian, polisi bisa melakukan autopsi ulang.

"Kalau autopsi kan bisa ketahuan hasil visumnya atau riwayat sakitnya korban. Saya kira, atas nama negara demi mengungkap kasus pidana, langkah ini bisa dilakukan," katanya.

Selain itu, Ombudsman Jateng juga menilai jika KPU melakukan maladministrasi dalam merekrut KPPS. Mulai dari perlindungan hukum, jam kerja sampai patokan honorarium.

"Sempat kami tanyakan, tapi KPU seolah lempar tanggung jawab. Katanya aturan semuanya dari pusat," katanya.

Baca Juga: Ombudsman: Negara Perlu Minta Maaf Atas Meninggalnya Ratusan Petugas KPPS

Maladministrasi lainnya muncul dari batasan usia petugas yang direkrut. Diketahui banyak petugas yang lolos seleksi telah berusia diatas 40 tahun.

"Hanya mencantumkan batas minimal usia saja. Ada potensi kelalaian KPU dalam merekrut petugas, pemerinyah tidak memberikan perlindungan kesehatan bagi petugas. Temuan-temuan ini kita peroleh dari keterangan keluarga korban," tuturnya.

Ombudsman juga menyayangkan ketidakpastian langkah pemerintah dalam memberikan santunan kepada keluarga korban yang meninggal. Tidak ada patokan nilai santunan dan malah membingungkan keluarga korban.

"Supaya kejadian ini tidak terulang lagi, kita sarankan supaya pemerintah merevisi ulang aturan kerja KPPS dan pengawas TPS saat Pemilu. Hasil investigasi sudah kita sampaikan ke Ombudsman di Jakarta untuk ditindaklanjuti," tukasnya.

Load More