Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Minggu, 28 Juli 2019 | 09:58 WIB
Mulai pertunjukan ronggeng, gamelan dan tarian tradisional dipentas dalam Kaligua Culture Fesival [Suara.com/Reza Abineri].

SuaraJawaTengah.id - Meruwat, ruwat, atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai ngruwat atau ruwatan adalah sebuah cara membersihkan raga, jiwa, maupun prasarana seperti perangkat kerja, agar terhindar dari keburukan.

Acara ruwatan yang digelar dalam Kaligua Culture Fesival [Suara.com/Reza Abineri].

Tradisi meruwat ini juga bisa ditemukan di Kebun Teh Kaligua, Kabupaten Brebes. Gunungan dan sesaji diruwat ke tempat penyimpanan alat ketel uap teh, sebagai langkah menolak keburukan yang akan menimpa dalam proses produksi teh.

Di saat langit Desa Pandansari mulai disepuh warna emas dan ufuk timur mulai terlihat, rombongan dari Kaligua Culture Festival (KCF), Sabtu (27/7/19) menggelar upacara meruwat, guna menghayati sejarah saat era penjajahan Belanda.

Penggagas dan Penanggungjawab KCF, Dimas Indianto mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk selalu mengingat sejarah di era kerja paksa jaman Belanda. Yang mana, banyak pengorbanan untuk memindahkan alat ketel uap seberat 120 kg.

Baca Juga: Miss Auto Show 2019: Tak Semuanya Kenakan Gaun Malam

"Mengingat kembali pengorbanan warga membawa pemberian dari Belanda, berupa ketel uap saat era Van De Joeng. Benda ini diturunkan di Paguyangan," katanya.

Ia bercerita, "hadiah" berupa alat dari Belanda itu lalu dibawa ke Kaligua. Alat yang berat dan berdimensi besar ini mesti dibawa secara dipikul dan Belanda sebagai tuan tak peduli soal bobot berat.

"Alat sebesar itu dipikul dengan cara berjalan kaki, menempuh jarak sejauh 12 km. Medan banyak menanjak. Namun warga harus patuh, guna mengikuti perintah Belanda waktu itu," ujar Dimas Indianto mengisahkan.

Jumlah total pekerja sampai puluhan yang berasal dari masyarakat dari tiga desa, yakni Desa Kretek, Ragatunjung ,dan Desa Pandansari.

Saking beratnya serta kondisi medan, alhasil untuk memikul satu alat membutuhkan waktu hampir satu bulan. Lamanya lantaran waktu banyak untuk beristirahat di jalan. Oleh Belanda, para warga yang bekerja membawa alat berat itu diberi hadiah suguhan ronggeng dan lainnya sebagai penyemangat.

Baca Juga: Exhibitors Night GIIAS 2019: Dari Mobil Favorit sampai Miss Auto Show

"Untuk menghibur masyarakat yang lelah, Belanda menyelenggarakan ronggeng untuk para pekerja. Butuh waktu 20 hari untuk satu alat dengan digotong bergantian," imbuhnya.

Sementara itu, Bupati Brebes Idza Priyanti sangat berharap kegiatan tadi mampu melestarikan dan mengembangkan potensi di daerah. Ia melihat potensi KCF dapat menjadi momen memajukan sektor pariwisata.

"Semoga bisa menjadi even tahunan. Mampu memajukan pariwisata agar perekonomian masyarakat berkembang," katanya.

KCF menggelar acara ini untuk mengingat dan mengenang sejarah masa pahit dahulu. Dengan tema "Berbudaya, Bersama, Berkarya dan Bergembira" pergelaran dimaksudkan agar masyarakat sadar dan melestarikan kebudayaan sebagai bagian sejarah itu.

"Kita jangan melupakan sejarah, meskipun itu pahit. Apalagi sejarah itu memiliki nilai arif dan kreatif. Menjaga agar budaya kita tidak pudar," beber Idza Priyanti.

Selain prosesi ruwat ketel uap, ada kegiatan napak tilas budaya, kirab budaya, upacara adat, musik kebun teh, pameran karya komunitas, creative sharing atau taklshow kreatif, sarasehan budaya, pesta seribu obor dan berbagai kegiatan kolaborasi dari para pelaku seni yang ada di Brebes bagian selatan. Sebanyak ratusan orang terlibat dalam kegiatan ruwatan sejarah perdana di Kabupaten Brebes.

Perlu diketahui, pabrik yang didirikan pada 1880 oleh Cultur Onderneming dari Belanda ini pengelolaannya dilakukan langsung oleh Van De Joeng (dilafalkan sebagai Van di Yong), sang pemilik. Luas total lahan kebun teh mencapai 600 hektare, di ketinggian antara 1.500 - 2.050 m dpl dengan suhu sekitar 20 derajat Celcius.

Sebanyak puluhan warga Pandansari bergantung dan bekerja sebagai pemetik teh di sini, dan  umumnya telah bekerja secara turun-menurun sebagai bentuk baktinya.

Kontributor : Reza Abineri

Load More