Scroll untuk membaca artikel
Dwi Bowo Raharjo
Senin, 10 Agustus 2020 | 04:50 WIB
Anak-anak di RW 2 Desa Pasuruhan berburu sinyal sampai ke makam. (Suara.com/Khoirul)

SuaraJawaTengah.id - Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Desa Pasuruhan Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah akhir-akhir ini ramai aktivitas bocah. Tiap pagi sampai siang, sejumlah anak rutin mengunjungi tempat pemakaman.

Mereka duduk di bawah sebuah pohon besar di sekitar kuburan. Akar-akarnya yang menyembul ke permukaan disulap jadi tempat duduk yang nyaman.

Di situ tempat favorit para siswa di desa agar bisa mendapatkan sinyal.

Mereka mengeluarkan smartphone dan membuka aplikasi perpesanan. Di situ, bermacam tugas dari sang guru telah menunggu untuk dikerjakan.

Baca Juga: Gadis SMK Tinggal di Kandang Ayam, Terpaksa Beli HP untuk Belajar Online

"Tugasnya ada di WA, tiap hari ganti mata pelajarannya,"kata Khoirul Wildan (13) siswa kelas 7 SMPN 2 Karangkobar Banjarnegara, Minggu (9/8/2020)

Anak-anak itu belakangan menyulap makam menjadi tempat belajar. Sejak pembelajaran daring diberlakukan, mereka jadi rajin mengunjungi makam. Bukan untuk berziarah, melainkan berburu sinyal.

Keriuhan anak-anak masih belum mampu memecah keheningan makam. Nuansa kuburan masih terasa horor. Ranting-ranting pohon terus menari tertiup angin. Daun-daun saling bergesekan hingga melahirkan irama mencekam.

Wildan mengaku, sebenarnya ia merasa takut belajar di pemakaman.

Apalagi lokasi makam agak jauh dari pemukiman. Jika terjadi apa-apa, teriakan paling kencang mereka belum tentu terdengar warga di kejauhan.

Baca Juga: 6 Laptop Murah untuk Belajar Online, Harga di Bawah Rp 5 Juta

"Ya sedikit takut. Karena di sini yang ada sinyal. Di rumah gak ada sinyal,"katanya

Namun apa boleh buat. Komplek makam adalah salah satu tempat paling bagus untuk mendapatkan sinyal. Selainnya ada komplek sekolah dasar yang terletak di bawah makam. Kebetulan, posisi komplek makam lebih tinggi dari pemukiman di bawahnya.

Sehingga wajar jika di dataran yang lebih tinggi itu jaringan internet lebih baik. Sementara lokasi permukiman berada lebih bawah. Sayangnya, di komplek padat penduduk itu minim sekali sinyal.

Wildan sendiri belum pernah merasakan suasana belajar di kelas di sekolah barunya. Sejak berstatus sebagai siswa di SMPN 2 Karangkobar, ia dan teman-temannya disuruh belajar di rumah.

"Biasanya di sini antara jam 7 sampai jam 2, mengerjakan tugas-tugas,"katanya

Halimah, orang tua Wildan, membenarkan jika anaknya saban hari belajar daring di makam. Ini dilakukan karena di rumahnya tidak ada sinyal. Padahal anaknya setiap hari harus mengikuti pembelajaran daring. Sementara lokasi yang sinyalnya kuat ada di dataran lebih tinggi, salah satunya kuburan.

Ia mengaku awalnya anaknya takut belajar di makam. Namun lama-lama, setelah terbiasa, ketakutan itu memudar. Apalagi anaknya tidak sendirian, ada sejumlah anak lain yang tiap jam sekolah pergi ke makam untuk mengikuti pembelajaran daring.

"Tiap hari ada sekitar 10 anak belajar di makam,"katanya

Dalam pembelajaran daring yang diikuti anaknya, guru selalu memberikan tugas tiap hari. Para siswa telah mendapat buku pegangan sejak awal tahun ajaran. Guru tinggal memberikan instruksi melalui aplikasi perpesanan (Whatsapp).

Misalnya, siswa disuruh mempelajari materi tertentu di buku itu lalu diminta menjawab soal-soal pada halaman yang ditentukan.

Siswa harus mengerjakan tugas itu dengan menuliskannya di buku tulis. Jawaban itu kemudian difoto lalu dikirim melalui aplikasi perpesanan untuk dikoreksi sang guru.

"Jawaban difoto terus diupload. Nanti dinilai sama guru," katanya

Tuntutan pembelajaran daring mendorong orang tua di desa untuk membeli smartphone bagi anaknya. Tak hanya membeli, mereka harus "menghidupi" perangkat itu dengan paket internet agar bisa digunakan. Halimah bahkan mengaku harus berhutang agar bisa membeli smartphone untuk mendukung pembelajaran anaknya.

Selain masalah sinyal yang susah, orang tua keberatan dengan kuota internet yang mahal.

Orang tua siswa lainnya, Tinah mengeluhkan beban pengeluaran yang lebih untuk membeli kuota internet. Ia yang hanya berprofesi sebagai petani merasa keberatan untuk menanggung paket internet.

Tidak sampai sebulan, paket data sebesar 6 GB sudah habis karena pemakaian yang boros, khususnya untuk pembelajaran daring. Maklum saja, terkadang anaknya harus mengirim video praktik yang memakan banyak kuota.

Jika mewajibkan pembelajaran daring, harusnya pemerintah memfasilitasi siswa agar mudah mengakses internet. Namun yang terjadi di kampung ini sebaliknya. Beban orang tua siswa yang hidupnya susah bertambah berat karena harus memikirkan biaya untuk membeli kuota internet.

Sinyal pun sulit didapat sehingga anak harus bersusah naik dataran yang lebih tinggi, termasuk ke kuburan untuk mendapatkan sinyal.

"Harapannya ada bantuan kuota atau fasilitas wifi untuk anak-anak,"katanya.

Kontributor : Khoirul

Load More