Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah
Kamis, 20 Agustus 2020 | 17:59 WIB
Seorang pelaku budaya di Desa Sidomulyo, Kendal, Jawa Tengah, melakukan tradisi penjamasan pada belasan benda pusaka menyambut bulan suro atau Muharram. [Foto: AyoSemarang.com]

SuaraJawaTengah.id - Sejumlah pelaku budaya di Desa Sidomulyo, Kendal, Jawa Tengah, melakukan tradisi penjamasan pada belasan benda pusaka menyambut bulan suro atau Muharram.

Ada belasan benda pusaka peninggalan kerajaan di Nusantara yang dijamas. Antara lain keris dan tombak.

Salah satunya benda pusaka sebuah keris peninggalan Kerajaan Majapahit yang telah berumur 700 tahun lebih.

Ada beberapa proses dalam pelaksanaan jamasan. Mulai dari pembacaan doa, jamas atau pembersihan benda pusaka, hingga sindikoro atau menyelaraskan energi.

Baca Juga: Habis Malam 1 Suro, Kondisi Pantai Parangtritis Penuh Sampah Plastik

Menurut Agus Riyatno, pelaku budaya di Desa Sidomulyo Kendal, penjamasan ini merupakan bentuk pelestarian dan menghargai benda bersejarah yang masih ada.

"Di sisi lain peninggalan benda pusaka ini dalam pembuatannya juga tak sama, disesuaikan dengan latar belakang seseorang baik dari keturunan kerajaan ataupun orang biasa," jelasnya dikutip dari Ayo Semarang—jaringan Suara.com—Kamis (20/8/2020).

Penjamasan juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan budaya.

Terlebih peninggalan sejarah budaya di Indonesia seperti keris yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia.

Selain melakukan penjamasan, warga juga menggelar tradisi baritan.

Baca Juga: Pewayangan Terpinggirkan, Omah Budaya Kahangnan Hidupkan di Malam 1 Suro

Tradisi ini merupakan sarana dalam mempererat silaturahmi antar warga selain berharap mendapat berkah di Tahun Baru Hijriyah.

Dalam tradisi baritan, warga membawa makanan berupa nasi lengkap dengan lauk pauk dan jajanan untuk sajian doa bersama yang dilakukan di perempatan atau pertigaan jalan kampung.

Tradisi baritan diikuti seluruh warga, mulai dari orang tua, pemuda hingga anak-anak. S

etelah dilakukan doa bersama yang dipimpin tokoh setempat, kemudian makanan yang telah dikumpulkan itu dibagikan secara merata untuk dimakan bersama dan dibawa pulang.

Nurhadi, warga Desa Sidomulyo Kendal mengatakan, tradisi baritan yang dilakukan di tiap-tiap perempatan dan pertigaan jalan kampung sudah dilakukan sejak zaman orang tua dulu.

Tujuannya untuk menolak bala dan mendapatkan segala kebaikan yaitu dengan memanjatkan doa bersama seluruh warga.

"Sepengetahuan saya, sejak masa kecil saya sudah ada tradisi baritan. Intinya untuk menolak bala dan segala kejelekan, semacam penyakit dan mendapatkan kebaikan supaya ke depan lebih baik," ungkapnya.

Kepala Desa Sidomulyo, Ratna Yuli Fitriyani berpesan kepada generasi muda agar tradisi baritan yang digelar untuk menyambut Tahun Baru Hijriyah atau 1 Suro terus dilestarikan,

Dengan demikian tradisi yang sudah turun-temurun ini tetap menjadi ciri khas Desa Sisomulyo.

"Tujuan menggelar tradisi baritan adalah untuk memanjatkan doa kepada Tuhan agar mendapat berkah dan kebaikan serta dijauhkan dari segala bala dan bencana. Selain itu juga untuk mempererat silaturahmi antar warga. Sebenarnya, tradisi baritan ini tidak hanya malam 1 Suro, tapi pada moment-moment lain, seperti Agustusan dan lainnya," paparnya.

Load More