Scroll untuk membaca artikel
Siswanto | BBC
Kamis, 19 November 2020 | 13:34 WIB
BBC

SuaraJawaTengah.id - Para relawan uji klinis vaksin Covid-19 rentan mengalami tekanan psikologis seiring merebaknya berita bohong, simpang siur rencana vaksinasi, dan tudingan sebagai kelinci percobaan. Dokter spesialis kesehatan jiwa mengingatkan, perlunya evaluasi psikologis berkala terhadap para relawan.

Rentetan pertanyaan dan penilaian menyudutkan mengalir ke Herlina Agustin seusai dia mengikuti uji klinis vaksin Sinovac pada Agustus 2020 lalu, di Kota Bandung, Jawa Barat.

"Saya dibilang, 'Kok berani sih jadi kelinci percobaan?' Yang kedua, 'Ini kan vaksinnya dari China, biarin aja orang-orang China aja dulu yang diuji coba, jangan kita. Kalau kamu mati, siapa yang rugi?'"

Lontaran pertanyaan dan penilaian tersebut memang tak membuat Herlina menyesali keputusannya menjadi relawan uji klinis vaksin. Namun, dirinya mengaku prihatin.

Baca Juga: Pakar Kesehatan Anak Ikut Andil Dalam Pengembangan Vaksin Covid-19

"Kenapa sih ada orang yang mikir seegois itu? Orang lain yang mati dan kita tinggal ambil yang sudah jadinya aja. Itu yang bikin saya jadi prihatin. Kok seegois itu manusia?" ungkap Herlina kepada Yuli Saputra, wartawan Bandung yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dicap sebagai kelinci percobaan juga dialami Riani, relawan yang masih berusia 19 tahun. Tapi tudingan itu langsung dibantahnya.

"Katanya kan kalau misalnya jadi relawan tuh kayak kelinci percobaan. Tapi aku nggak merasa ini kelinci percobaan karena kita benar-benar dijamin 100 persen kesehatannya," ujar remaja putri itu.

Selain label 'kelinci percobaan', rencana vaksinasi Covid 19 yang digulirkan pemerintah sebelum uji klinis vaksin tuntas, juga menimbulkan pertanyaan relawan.

"Saya bingung, kenapa pemerintah tidak menunggu uji klinis ini sampai selesai, terus ada pernyataan resmi dari WHO vaksin a, b, c berhasil, baru pemerintah menyuntikkan. Jangan belum apa-apa akan disuntikkan. Itu kan menurut saya tindakan yang gegabah dan terburu-buru," ujar Arif.

Baca Juga: Air France-KLM Bersiap Angkut Jutaan Dosis Vaksin Corona ke Seluruh Dunia

Evaluasi kondisi kesehatan mental relawan

Label 'kelinci percobaan' serta hoaks seputar vaksin Covid 19 dinilai bisa mengganggu kesehatan mental para relawan.

"Informasi negatif sangat buruk untuk kesehatan mental kita. Entah dalam konteks vaksin atau tidak karena mau tidak mau suatu ucapan negatif yang diulang berkali-kali bisa menyebabkan kita menjadi down, menjadi stress. Atau, ketika menjalani, 'Bagaimana kalau ada apa-apa? Nanti keluarga saya seperti apa?'

"Stigma untuk corona sendiri aja belum selesai di masyarakat, sekarang ditambah lagi vaksin," kata Elvine Gunawan, dokter spesialis kejiwaan.

Menurut Elvine, para relawan perlu menjalani evaluasi kejiwaan secara berkala agar terhindar dari gangguan kesehatan mental. Idealnya, lanjut dia, dampingan psikologis dilakukan sejak pra-uji klinis.

"Pada relawan sendiri kita bisa lihat apakah dia sebelumnya memiliki kondisi kesehatan mental yang stabil atau tidak pada saat menjalani proses ini. Karena saat menjalani proses, tentu kita membutuhkan kepastian apakah efikasinya baik, apakah dia bisa benar memproteksi diri dia.

"Apabila hal itu tidak dievaluasi dengan baik bukan tidak mungkin menjadi relawan tanpa evaluasi berkala bisa menyebabkan peningkatan risiko terkena gangguan mental emosional," kata psikiater yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Padjadjaran ini.

Pendampingan psikologis saat pra-uji klinis vaksin, lanjut Elvine, juga untuk menghindari terjadinya bias pada hasil penelitian vaksin asal China.

"Secara ideal, kita evaluasi dari tahap pra-nya, apakah orang ini sudah ada gangguan mental emosional atau tidak. Tentu akan beda keluhannya ketika orang ini sudah punya riwayat cemas. Kan orang cemas apa-apa dirasa. Jadi ketika disuntik terus ada rasa segala macam akan mengaitkan dengan vaksinnya. Atau sebelumnya, dia punya riwayat depresi. Orang depresi dengan keluhan somatic biasanya banyak keluhan fisiknya, bukan tidak mungkin ini juga menjadi bias.

"Jadi kalau misalnya, memungkinkan, di pra-nya mungkin sudah terlewat, tapi di fase selama dia mengikuti proses ini, apalagi dia didampingi sehingga kita bisa tahu apakah ini benar murni karena vaksinnya atau karena kondisi mental emosionalnya," ujar Elvine.

Pastikan kesehatan relawan

Juru bicara tim uji klinis vaksin Universitas Padjadjaran, Rodman Tarigan, menyebutkan dampingan psikologis relawan memang tidak melibatkan ahli kejiwaan dalam setiap prosesnya. Namun, tim peneliti memastikan kesehatan relawan, baik fisik maupun psikis, melalui wawancara dan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

Di awal uji klinis, Rodman menyebutkan, para relawan mendapat penjelasan mengenai berbagai kemungkinan reaksi dari vaksin yang diujicobakan. Tujuannya, agar relawan siap secara mental. Selain itu, selama enam bulan proses uji klinis, relawan diberi kebebasan berkonsultasi atas apapun keluhan kesehatannya, kepada tim peneliti.

"Kami dalam penjelasannya kepada mereka kalau memang memerlukan konsultasi kami persilakan. Jadi tidak artinya secara spesifik menyebutkan perlindungannya, tapi dari kalimat kesehatan tersebut, mereka boleh, misalkan ada keluhan, sakit, konsultasi. Kalau mereka ternyata ada hal-hal yang bersifat mental psikologis kami harus fasilitasi," sebut Rodman.

Tim peneliti, lanjut Rodman, selalu siap melayani konsultasi, termasuk bila diminta penjelasan mengenai kabar yang beredar terkait vaksin yang diujicobakan.

"Kami yakinkan bahwa berdasarkan informasi dari Biofarma, proses pembuatan dari vaksin Sinovac ini tidak mengandung produk-produk yang haram. Itu tantangan terbesarnya berita hoaks, kemudian mereka dianggap kelinci percobaan. Itu tantangan dan kami dari tim uji klinis harus siap dan enjoy aja dengan apa yang terjadi," ungkap dokter spesialis anak ini.

Rodman mengungkapkan, sejauh ini tim uji klinis belum menerima keluhan relawan yang mengalami gangguan kejiwaan. Sejauh ini, Rodman menilai, relawan cukup antusias dan konsisten menjalani prosesnya. Sebanyak 1.600-an relawan telah menjalani penyuntikan kedua dan 500 relawan di antaranya telah diambil darah untuk dicek antibodinya.

Pengakuan Herlina, Riani, dan Arif, sejauh ini mereka tidak mengalami gangguan psikologis yang signifikan dan belum membutuhkan dampingan psikologis.

Meski demikian, Elvine berpendapat, dibutuhkan atau tidak, dampingan psikologis tetap harus diberikan.

"Fase ini kan sebenarnya fase yang secara prosesnya saja sudah memilki risiko stress yang tinggi. Jadi dengan adanya pendampingan, tentu lebih humanis buat relawannya sendiri. [Mereka akan] merasa 'Oh saya bukan kelinci percobaan, saya diperhatikan, saya mendapatkan pendampingan, saya merasa lebih tenang menjalaninya'," ujarnya.

Dampak positif

Walaupun rentan tekanan mental, tapi uji klinis vaksin ini memberikan dampak positif bagi kejiwaan para relawan. Menurut Elvine, uji klinis vaksin ini membuka peluang bagi seseorang untuk menyalurkan altruisme atau sisi humanisnya.

"Dampak positifnya setiap orang pasti ingin berguna buat sesamanya, siapapun itu, dan melakukan seperti ini kan salah satu bentuk altruisme, salah satu bentuk kebaikan kita pada sesama manusia.

"Orang-orang tersebut, relawan bisa dibilang hero. Mereka mengorbankan diri, entah hasilnya seperti apa. Mereka mau untuk berbagi tubuhnya, kondisinya untuk sesamanya. Itu sesuatu yang hebat," kata Elvine.

Setidaknya itu pula yang tergambar dari alasan di balik keterlibatan para relawan.

"Motivasi saya lebih pada kalau memang ini bisa bermanfaat buat orang banyak kenapa nggak dikerjakan? Jadi motivasi utamanya adalah berarti buat orang banyak," ungkap Herlina.

Sementara Arif sudah siap menanggung semua risikonya, bahkan bila vaksin ini dinyatakan gagal.

"Itu risiko yang sudah saya terima, karena vaksin ini kan masih dalam tahap uji coba, jadi segala sesuatu bisa terjadi, gagal, ada kematian.

"Biarpun demikian, saya ingin vaksin cepat ketemu agar anak saya bisa belajar dan bermain bersama teman-temannya secara tatap muka," tutur Arif.

Load More