Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Minggu, 20 Desember 2020 | 15:07 WIB
Sejumlah penikmat seni saat berada di Art Exhibition “New World” di Limanjawi Art House, Borobudur. (Suara.com/Angga Haksoro)

SuaraJawaTengah.id - Perayaan tahun baru datang lebih cepat di kota Wuhan, Tiongkok. Warga menyambut kehidupan baru, setelah kota “dikunci” selama berbulan-bulan akibat pandemi Covid 19.

Otoritas setempat mengklaim pandemi sudah dapat dikendalikan. Tercatat hingga 19 Desember 2020, (hanya) ditemukan 23 kasus baru Covid 19 di Wuhan.

Sejak terdeteksi kali pertama di Pasar Besar Makanan Laut Huanan, setahun lalu, tercatat 50.340 kasus Covid 19 di Ibu Kota Provinsi Hubei itu. Sebanyak 3.869 warga meninggal akibat wabah.

Memang hingga kini Pasar Huanan masih sepi pengunjung akibat warga yang khawatir. Namun denyut kehidupan “normal” mulai terasa di kota pusat kuliner Tiongkok itu.

Baca Juga: Pembukaan Kenduri Seni Melayu Digelar Secara Virtual

Soal kenormalan itu yang oleh dr Oei Hong Djien (OHD), disinggungnya tidak akan pernah sepenuhnya kembali. Sebagai dokter spesialis patologi anatomi sekaligus pecinta seni, dia menyebut masa pandemi akan melahirkan kelaziman baru.

“Ini bisa juga membawa perubahan kebudayaan. Setiap malapetaka membawa perubahan, termasuk cara hidup. Perubahan ini, orang mula-mula akan kaget tapi akan tambah kaya pengalaman,” kata OHD saat pembukaan Art Exhibition “New World” di Limanjawi Art House, Borobudur.

Pandemi, kata OHD akan membentuk tatanan baru dunia. Termasuk perubahan wajah seni rupa. “Covid dengan segala pembatasan ini. Kemarin dunia seni rupa hiruk pikuk menghendaki globalisasi, saya kira sekarang sudah tidak memungkinkan.”

Di masa datang akan terjadi era deglobalisasi seni rupa. Pameran seni dapat diadakan dimanapun secara daring. Pertunjukan seni tidak lagi terlalu bergantung pada tempat dan panggung.

Pameran online tidak terlalu membutuhkan infrastruktur fisik. Posisi seniman dan komunitas seni setara dengan mereka yang tinggal di kota-kota besar yang didukung infrastruktur.

Baca Juga: Melihat Pertunjukan Seni Budaya Taruna AAL di KRI Bima Suci

“Sebelum ini sudah berkali-kali, ditahun-tahun terakhir ini (kita) mempromosikan seni rupa masuk desa. Sekarang sudah tidak zamanya semuanya harus di kota. Ini kesempatan bagus.”

Dari sudut kualitas karya seni, masa pandemi juga menyediakan limpahan waktu bagi seniman untuk mencumbui ide-ide kreatif. Kesibukan dipaksa melambat.

Pandemi Covid misalnya, memberikan jeda bagi Erica Hestu Wahyuni untuk menyelesaikan karyanya: “Fortune Mansion”. Lukisan yang ukurannya lebih besar dari meja pingpong ini menggunakan cat akrilik berbingkai ukiran kayu.

Lukisan bertema beragam aktivitas orang selama “terkurung” di rumah, mulai digarap Erica saat gerhana matahari total 9 Maret 2016. Lockdown selama pandemi, dimanfaatkannya untuk menggenapi karyanya tersebut.  

“Kita mengharapkan kejutan-kejutan. Seniman yang sebelumnya tidak ada waktu untuk berpikir, me-review, medalami, merasuk. Jadi Covid ini ada hikmahknya juga,” kata OHD.

Masa pandemi juga mendesak seniman Easting Medi untuk mencari alternatif material lukisan selain cat air, cat minyak, dan akrilik. Meski karya yang ditampilkan dalam pameran kali ini masih menggunakan cat akrilik, di sanggarnya Medi bereksperimen melukis dengan pewarna berbahan jamu-jamuan.

“Karya berjudul ‘Love and Peace’ ini saya selesaikan satu minggu. Lukisan kepala Budha mengenakan masker berlatar bendera dari berbagai negara, menggambarkan pandemi Covid yang melanda seluruh dunia,” kata Medi.

Justru keprihatinan atas pandemi, kata pemilik Limanjawi Art House, Umar Chusaeni yang menjadi penyemangat pameran ini digelar. Pandemi ujarnya, mengantar manusia membenamkan diri dalam keheningan nurani.

Pasca pandemi, manusia dengan jagat rayanya mesti optimistis melangkah memasuki dunia baru.

“New World, mungkin juga memberikan tanda bagi jalan terang manusia dalam memperoleh inspirasi untuk menaruh optimistis mencapai masa depan. Dalam dunia baru pasca pandemi, baik secara individu maupun titah wantah-nya sebagai makhluk sosial yang berbudaya tinggi,” kata Umar.

Pameran seni rupa “New World” diikuti 22 seniman asal Magelang, Yogyakarta, dan Jakarta. Saat pembukaan ditampilkan performance art Jemek Supardi dengan Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) 15.

Pameran yang digelar 20 Desember 2020-20 Februari 2021 akan mengantar kita menyebrangi tahun pandemi menuju tahun harapan baru.

“Hari ini saya mau melupakan itu tadi yang disebut sedih-sedih. Harus tetap senang. Ini juga sudah dibuktikan bahwaresearch kedokteran bahwa sehat dan bisa umur panjang, nomor satu itu bukan makanan, bukan olah raga. Tapi hati yang senang,” kata dr Oei Hong Djien.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More