Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 07 Januari 2021 | 12:41 WIB
Perajin tempe mendoan sedang memproduksi di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Kamis (7/1/2021). (Suara.com/Anang Firmansyah)

SuaraJawaTengah.id - Harga kedelai impor di pasaran tengah melambung tinggi. Hal tersebut tentu saja berimbas pada perajin tempe mendoan di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, yang menggunakan bahan baku dari kedelai impor dari Amerika.

Masih ditambah rencana pemerintah menerapkan kebijakan PSBB Jawa-Bali. Dipastikan keadaan ekonomi akan semakin terpuruk. 

Hal ini diungkapkan Wasis Utomo (32), salah satu perajin tempe di RT 06 RW 06 Desa Pliken. Ia merasakan kenaikan harga kedelai sejak pertengahan Bulan Desember tahun lalu.

"Wah, luar biasa waktu awal naik itu. Sangat berpengaruh ke penjualan. Tempe mendoan yang biasanya habis dalam satu hari, hanya laku 35 persen saja. Jadi saya pulang sisa sekitar 65 persen," katanya saat ditemui, Kamis (7/1/2021).

Baca Juga: Unik! Biar Tidak Tertular Covid-19, Pria Ini Tutup Rumahnya dengan Seng

Pada hari-hari biasanya, ia mampu membuat 47 kilogram tempe mendoan. Namun sejak saat awal kenaikan harga kedelai dirinya mengurangi stok pembuatan tempe mendoan. Karena mengurangi kualitas bahan bukan menjadi pilihannya.

"Saya mending menaikkan harga daripada mengurangi kualitas. Jadi awalnya sangat berpengaruh karena pada kaget harganya naik. Tapi pelan-pelan saya kasih pengertian akhirnya mereka mau menerima," jelasnya.

Sewaktu pertengahan Bulan Desember, dirinya sempat pusing karena penjualannya menurun drastis. Oleh sebab itu, ia mengurangi stok pembuatan dalam sehari yang biasanya mencapai 47 kilogram menjadi setengahnya.

"Saya kan jualnya langsung di drop ke pasar tradisional, terus juga warung-warung pinggir jalan. Nah, banyak yang mengeluhkan kenaikan harga tempe mendoan saya. Tapi saya tidak mau menurunkan kualitas tapi harga sama. Lebih baik saya naikkan harga dengan kualitas yang terjaga," tuturnya.

Sebelum mengalami kenaikan, ia biasanya menjual tempe mendoan dengan harga Rp 3000 per sepuluh ikat dengan ukuran kecil dan Rp 4000 per sepuluh ikat ukuran besar. Kini produknya mengalami kenaikan harga Rp 500 per masing-masing ukuran.

Baca Juga: Takut Tertular Covid-19, Warga Banyumas Ini Tutup Rumahnya dengan Seng

"Saya naikkan sekarang jadi Rp 3500 ukuran kecil dan Rp 4500 ukuran besar. Pelanggan saya sudah mau menerima itu karena memang bahan bakunya naik," terangnya.

Ia berharap pemerintah dapat menyetabilkan harga kedelai impor lagi agar dirinya bersama perajin lain dapat kembali menormalkan harga tempe mendoan. Karena sepengalamannya, ketika harga naik, turunnya lagi bakal lama.

"Kalau sudah naik biasanya turunnya lama. Otomatis saya juga menyesuaikan harganya. Tapi kalau harga sudah turun, saya bakal kembali menurunkan harga seperti biasanya," lanjutnya.

Kini para perajin tempe mendoan di Desa Pliken, harus mengalami dua kali derita. Karena selain harga kedelai yang naik, penjualannya juga terpengaruh adanya pandemi.

"Memang harga kedelai naik sangat menyiksa. Tapi lebih menyiksa sejak adanya Corona. Ibaratnya dua kali kami kejatuhan tangga. Saat awal Corona lalu, sangat sepi sekali penjualan. Karena banyak yang takut untuk berbelanja ke pasar," pungkasnya.

Load More