Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 10 Februari 2021 | 15:41 WIB
Almarhum Presiden Republik Indonesia ke-4, KH. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur. [Twitter@tsamaraDKI]

SuaraJawaTengah.id - Setelah Orde Baru runtuh, Perayaan imlek menjadi tradisi keagamaan yang diperbolehkan di Indonesia. Hal itu tentu saja karena peran Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau sering dipanggil Gus Dur

Pada masa itu, praktik perayaan Imlek atau tahun baru China nyaris lenyap dari bumi Indonesia. Hal itu terjadi karena terdapat Instruksi Presiden Soeharto Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Dilansir dari NuOnline, Wakil Ketua DPR RI, Abdul Muhaimin Iskandar menceritakan, adanya instruksi Presiden Soeharto itu memaksa etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadatnya hanya bisa dilakukan secara terbatas termasuk tahu baru Imlek. Mereka diperbolehkan merayakan tapi dalam suasana tertutup, hanya di lingkungan keluarga.

"Ketika zaman orde baru dengan berbagai latar belakang, dan dengan pertimbangan Pak Harto sebagai presiden atas nama stabilitas, atas nama macam-macam, konflik politik dan seterusnya, seluruh tradisi dan budaya Tionghoa dilarang. Termasuk perayaan Imlek. Bahkan yang sifatnya tradisi-tradisi, hiburan pun dilarang waktu itu,” kata Abdul Muhaimin pada program Kongko Show Live oleh Rumah Komunitas TV, Sabtu (6/2/2021) malam.  

Baca Juga: Sambut Imlek, MTA Hadirkan Dekorasi Lampion yang Instagramable

Menurut pria yang sering disapa Gus Ami atau Cik Imin, ketika Gus Dur dilantik menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia, seluruh peraturan yang mendiskreditkan kelompok langsung dihapus. Gus Dur yang sebelumnya memperkenalkan konsep kebangsaan non rasial  langsung merealisasikan gagasannya dengan menganulir Inpres No. 14/1967 dengan menerbitkan Inpres No. 6/2000.   

“Ketika Gus Dur dilantik menjadi presiden, komitmen Gus Dur, dan PKB, dan seluruh keluarga besar NU juga adalah bahwa tidak ada lagi diskriminasi kepada siapa pun, maka Keppres (Inpres) yang mengatur dan melarang itu dihapus langsung,” kata Cak Imin.  

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengisahkan perjuangan yang dilakukan Gus Dur tidaklah mudah. Inpres yang berisi penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama itu, ditentang berbagai kalangan.

Gus Dur, kata Cak Imin, mendapat banyak perlawanan, dimusuhi kelompok tertentu, difitnah, dan kebijakan tersebut juga disalahpahami. Lebih dari itu, PKB termasuk yang menjadi korban. Partai yang didirikan Gus Dur pada 23 Juli 1998 itu, suaranya menurun cukup drastis di wilayah Jawa Barat.  

“Alhamdulillah kita terus berjuang. Sekarang semua mengakui bahwa apa yang dilakukan Gus Dur adalah benar, dan menyaksikan Indonesia menjadi sangat berbineka dan sangat plural. Dan meski berbeda-beda tradisi dan budaya semuanya tetap bersatu,” ujar Cak Imin. 

Baca Juga: ASN Mudik saat Libur Imlek, Siap-siap Kena Sanksi

Sebagai catatan sejarah, Inpres No. 6/2000 ditetapkan Presiden Abdurrahman Wahid pada 17 Januari 2000. Pada 9 April 2001, dengan Keppres No. 9/2001, Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.

Empat tahun setelah terbitnya Inpres, tepatnya pada 10 Maret 2004, bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie, masyarakat Tionghoa di Semarang menyematkan julukan “Bapak Tionghoa” kepada Gus Dur.

Load More