Rivalitas cebong dan kampret semakin meruncing setelah Pilpres 2019 yang memenangkan kubu Jokowi. Namun tindakan Prabowo yang mengklaim kemenangan namun berujung kekalahan membawa dampak polarisasi sampai hari ini.
Hasil penelitian M Tazri dari Universitas Muhammadiyah Riau bertajuk Cebong dan Kampret dalam Perspektif Komunikasi Politik yang diterbitkan dalam Jurnal PIKMA menunjukkan bahwa istilah tersebut merupakan sinisme politik yang berlebihan yang merupakan bentuk penurunan bahasa komunikasi politik di Indonesia.
Hal senada disampaikan Nur Rohim Yunus dkk dalam penelitian bertajuk Kecebong Versus Kampret: Slogan Negatif dalam Komunikasi Politik pada Pemilihan Presiden 2019. Artikel yang diterbitkan pada jurnal SALAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyimpulkan bahwa slogan tersebut merupakan bentuk sentimen negatif yang berkembang di media sosial dan tidak sesuai dengan norma kehidupan masyarakat jika ditinjau berdasarkan perspektif etika publik berlandaskan Pancasila.
Sinisme Politik
Akan tetapi, sinisme politik semacam itu agaknya tidak terhindarkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya polemik Celeng versus Banteng di internal PDIP. Pakar Komunikasi Politik UNS Solo, Sri Hartjarjo, memaknai penggunaan simbol tersebut dipakai sebagai label guna membentuk wacana publik.
“Dalam politik itu wacana menjadi penting, karena akan digunakan untuk membangun persepsi publik di internal partai maupun eksternal,” kata Hastjarjo, Selasa (12/10/2021).
Dalam internal PDIP, label ini memuat makna siapapun yang bersimpati dengan pendukung Ganjar berarti tidak mau tunduk kepada partai. Namun, di sisi lain kader pendukung Ganjar tidak mau disebut pembelot hingga membalas dengan sebutan bebek.
“Secara teknik retorika, terjadi permainan rima ketika kata celeng disandingkan dengan kata banteng. Bunyinya mirip, tetapi makna kedua kata itu bertolak belakang. Teknik ini biasanya digunakan untuk menegaskan makna yang ingin disampaikan oleh seseorang,” ungkap dia.
Kata banteng memiliki simbol kuat, berani, dan kokoh. Sementara celeng mewakili simbol liar dan destruktif yang cukup kasar bagi warga Jateng.
Baca Juga: Prabowo Subianto Maju Pilpres 2024, Riza Patria: Bukan Keinginan Beliau, Tapi Kader
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
Terkini
-
SIG Dukung Batam Jadi Percontohan Pengembangan Fondasi Mobilitas & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
-
Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Kirim 29 AMT untuk Pemulihan Suplai di Sumatera
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota