Budi Arista Romadhoni
Rabu, 29 Desember 2021 | 14:23 WIB
Ilustrasi Pelecehan seksual oleh oknum pengasuh pondok pesantren. Pencabulan di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Demak mencoreng dunia pendidikan. Dalih menyemprotkan obat nyamuk, oknum pengasuh ponpes itu malah mencabuli santrinya. [Suara.com/Emal]

"Saya tak bisa ingat, kalau saya ingat-ingat terus dada saya sesak. Intinya lebih dari tiga kali," ucapnya setelah menghela nafas yang cukup panjang.

NS sempat diam sekitar 30 detik, hanya terdengar suara terenga-engah.

"Awalnya dia itu mencium terus sampai meraba-raba ke bagian intim, saya tak bisa apa-apa. Saat itu saya tak berani bercerita kepada siapapun," ucapnya.

Kelakuan tersangka itu tak membuatnya nyaman. Setelah lebaran, NS berniat untuk keluar dari pondok pesantren tersebut. Namun, saat ijin mau keluar pondok pesantren atau istilah santri "boyong" tak diperbolehkan pengasuh ponpes.

"Saat itu saya tak berani bercerita. Apalagi saya punya  kedekatan dengan istri pengasuh ponpes tersebut," paparnya.

Setelah tak diperbolehkan untuk keluar, NS terpaksa tetap tinggal di pesantren tersebut. Hari-harinya dihantui dengan perasaan cemas dan rasa takut karena setiap hari melihat wajah pelaku pelecehan seksual tersebut.

Singkat cerita, NS mendapat tawaran tersangka yang akan menjodohkan NS dengan salah satu ustadz di pesantren tersebut. Tawaran tersebut dia terima dengan sejumlah syarat.

"Saya langsung terima asalkan saya tak dilecehkan lagi," katanya memberi syarat kepada pengasuh ponpes tersebut.

Saat itu, tersangka menyetujui kesepakan yang ditawarkannya. Akhirnya dia dan ustadz tersebut melakukan tunangan. NS merasa lega karena akan ada sesorang yang akan menjaganya.

Baca Juga: 4 Kerajaan Islam Pertama Di Pulau Jawa: dari Kawasan Pesisir hingga Mataraman

Namun, kenyataanya tak seperti apa yang NS bayangkan. Setelah  tunangan, pengasuh ponpes tersebut berdusta. Pengasuh ponpes itu tetap mencabuli NS meski sudah tunangan.

"Sebenarnya saya mau triak, namun tak bisa,"  ujarnya.

Setelah tak kuat,  akhirnya NS buka suara kepada pihak keamanan pondok pesantren tersebut. Namun, kemanan pondok tak menggubris keluhannya.

"Saya memaksa untuk keluar, akhirnya saya bisa keluar pondok," ucapnya.

Untuk mengobati rasa traumanya itu, NS hanya bisa melakukan pijat saraf karena tak punya biaya ke psikiater. Sampai saat ini, NS masih sering kaget ketika mendengar suara pintu yang terbuka.

Ketika mendengar suara pintu, dia terbayang-bayang wajah tersangka yang merupakan pengasuh pondok pesantren tempat dia mengajar.

Load More