SuaraJawaTengah.id - Lahir di keluarga keturunan Tionghoa beragama Kong Hu Chu, Ustaz Mahdi belajar Islam di usia sangat muda. Bersyahadat dan khitan diam-diam.
Mahdi mengaku kakeknya datang langsung dari daratan Tiongkok. Masuk ke Surabaya, menyelundup tanpa dokumen.
Pada era 1930-an diperkirakan 500 ribu orang Tiongkok pindah ke Hindia Belanda. Dibukanya lahan perkebunan oleh pemerintah kolonial tahun 1860-1890 mendorong migrasi besar-besaran tersebut.
Keahlian orang Tiongkok dalam hal perdagangan, berkebun, kerajinan kayu dan emas, membuat mereka cepat beradaptasi dengan lingkungan sosial masyarakat Nusantara.
Baca Juga: Ini Cara Atur Anggaran Untuk Dana Angpau Hari Raya Imlek
Sebagian besar mereka yang bertahan tinggal di Nusantara, menikah dengan warga lokal. Kakek Mahdi salah satunya. Menikahi perempuan berdarah Madura yang kemudian melahirkan ayah Mahdi.
“Saya ini generasi kedua. Bapak-ibu saya orang China asli, jadi saya China-nya masih kentel. Saya berkulit hitam karena ngikutin darah nenek saya orang Madura,” kata Mahdi saat ditemui di Masjid Al Mahdi, Kota Magelang.
Mahdi yang memiliki nama China, Kwee Giok Yong, lahir di Surabaya. Saat berusia 1 tahun diboyong ke Jakarta dan menghabiskan masa kecil hingga remaja di sudut kampung Jelambar, Jakarta Barat.
Di kampungnya, keluarga Mahdi satu-satunya warga penganut Kong Hu Cu. Mahdi kecil bergaul akrab dengan anak-anak sebaya yang semuanya beragama Islam.
Pada masa itu, sudah menjadi kebiasaan anak-anak belajar mengaji di masjid atau langgar usai shalat Maghrib sampai masuk waktu Isya. Aib jika anak-anak masih main di jalanan bakda Maghrib.
Baca Juga: Dua Pilihan Kue Manis Untuk Rayakan Tahun Baru Imlek Bersama Keluarga
“Karena saya nggak punya teman main karena ngaji semua, akhirnya saya ikut masuk masjid juga.”
Saat menunggu itu, Mahdi ikut mendengarkan kawan-kawannya mengaji. Saat surat Al Fatihah dilantunkan dia merasa hatinya tentram.
Lama kelamaan Mahdi merasa “kecanduan” mendengar bacaan Al Quran. “Enak dengernya walaupun sama sekali nggak ngerti artinya. Saya merasakan nikmat. Akhirnya saya nggak pernah lepas ngeriung (kumpul) di langgar.”
Mahdi juga mulai mengikuti gerakan shalat teman-temannya. Saat yang lain belajar menghafal surat Al Fatihah dan ayat Kursi, Mahdi juga ikut menghafal meskipun saat itu belum mengucap syahadat.
Semua dilakukan Mahdi secara sembunyi-sembunyi. Dia tahu ayahnya keras memegang keyakinan Kong Hu Cu. Ayahnya bakal murka jika tahu anaknya tertarik memeluk agama Islam.
Apalagi 2 orang kakak Mahdi sudah lebih dulu masuk Islam. Nama China mereka diganti menjadi nama Islam, Taufik dan Hidayat.
Buat orang Tionghoa, malu besar jika ada anggota keluarga yang masuk Islam. Mereka biasanya akan diusir dari rumah, dihapus dari daftar penerima warisan, atau dikucilkan oleh komunitas China.
“Saya diancam oleh bapak saya. ‘Papa sudah kecolongan 2 anak (masuk Islam), jangan sampai yang ketiga kali kamu’. Padahal waktu itu saya sudah tertarik,” ujar Mahdi.
Tapi niat Mahdi masuk Islam sudah kuat. Tanggal 17 Ramadhan, dia diajak kakaknya menemui seorang guru. Habib Muhammad bin Hasan Alaydrus. Usia Mahdi saat itu baru 10 tahun.
Mahdi menemui Habib Muhammad Alaydrus di salah satu masjid di bilangan Rawabuaya, Jakarta Barat. Kebetulan Habib Muhammad mendapat giliran memimpin shalat tarawih di masjid tersebut.
“Bakda tarawih saya dituntun baca kalimat syahadat. Setelah itu mulai saya belajar Islam lebih dalam.”
Di rumah, Mahdi merahasiakan sudah masuk Islam. Shalat dan puasa dilakukan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh kedua orang tua.
Saat bulan Ramadhan tahun berikutnya, Mahdi mulai belajar mengaji kepada Habib Husein bin Muhammad Alaydrus. Kepada putra paling kecil Habib Muhammad ini, Mahdi belajar membaca Al Quran secara privat.
Selain berguru kepada Habib Muhammad, Mahdi juga kerap menghadiri taklim Habib Abdurrahman Al Jufri di Pekojan, Jakarta Barat. Kepada Habib Abdurrahman dia belajar ilmu fikih lanjutan.
Selamatan Khitan di Rumah Tetangga
Masalah besar muncul saat Mahdi mendekati usia baligh. Habib Muhammad memerintahkan Mahdi untuk khitan sebagai penyempurnaan ajaran Islam.
“Saya masuk SMP dan mendekati usia baligh. Guru saya bilang ayo sunat kalau nggak salat nggak sah dan lain sebagainya. Saya putar otak bagaimana caranya bisa sunat,” ujar Mahdi.
Terpaksa Mahdi mengadu pada ibunya bahwa dia telah memeluk agama Islam. Reaksi sang ibu malah mendukung. Mahdi dibelikannya sarung dan peci. Tapi niat untuk khitan belum juga sampai hati diutarakan kepada ibu.
Tidak hanya mendukung, ibu juga membantu Mahdi merahasiakan status ke-Islaman di hadapan ayah. Saat Ramadhan misalnya, saat tiba waktu berbuka, ibu melarang Mahdi langsung makan dan minum karena akan ketahuan sedang berpuasa.
“Kalau saya shalat maghrib di rumah, ibu jaga di luar. Begitu ayah datang, ibu saya bilang ‘ayo cepet shalatnya, bapak sudah datang’. Adzan maghrib, waktu buka saya nggak boleh langsung makan-minum karena nanti ketahuan bapak. Disuruh nunggu 10 menit. Takut ketahuan karena rahasia semua.”
Saat berusia 12 tahun, niat Mahdi untuk khitan sudah bulat. Berbekal uang Rp 15 ribu untuk ongkos dokter, Mahdi diantar tetangga ke tempat khitan.
Dia berbohong kepada keluarga, meminta izin pergi menginap 2 malam mewakili tim basket sekolah pergi bertanding ke Cirebon. Padahal Mahdi pergi ke dokter untuk khitan.
Jika bagi anak-anak-anak lain khitan adalah peristiwa besar, tidak demikian dengan Mahdi. Mahdi ditampung di rumah tetangga untuk menyembuhkan luka khitan.
“Di situ malam-malam saya dibikinkan nasi kuning. Jadi yang bikin selamatan tetangga saya. Diselametin layaknya punya anak khitan lah,” ujar Mahdi terharu.
Saat luka jahitan bekas khitan mulai kering, Mahdi senang bukan main hingga keasyikan bermain. Lukanya jadi bengkak. Keesokan hari dia pulang dengan kondisi susah berjalan.
Mahdi terpaksa mengakui sudah khitan. Ibunya panik tapi cepat bertindak membalut kaki Mahdi dengan parem kocok yang biasa dipakai untuk obat keseleo.
“Ibu saya bilang ‘nanti kalau bapak lu nanya, bilang keseleo’. Bener bapak pulang tanya kenapa? Saya jawab keseleo. ‘Makanya main jauh-jauh’,” ujar Mahdi tertawa mengenang masa kecilnya.
Selama masa sembunyi-sembunyi itu, Mahdi merasa ayahnya sudah curiga bahwa dia masuk Islam. Tapi tidak punya alasan untuk melarang karena Mahdi menunjukkan bakti kepada orang tua.
Tidak seperti anak usia remaja lainnya, Mahdi tidak nakal dan menunjukkan prestasi baik di sekolah. “Saya menunjukkan Islam ini agama yang birrul walidain. Bakti sama orang tua. Bapak saya tahu (masuk Islam) tapi pura-pura nggak tahu.”
Puncaknya menjelang masuk SMA, pada suatu kesempatan bapaknya seolah merestui Mahdi memeluk Islam. “Dia bilang: Itu sudah waktu shalat, nggak shalat kamu? Saya langsung deg. Berarti sudah meridho. Setelah itu bebas sudah sampai kuliah.”
Hadiah besar dalam hidup yang dirasakan Mahdi adalah saat ibunya menjadi mualaf, seminggu sebelum meninggal. Suatu pagi saat menjenguk di ruang ICU, Mahdi mendapat dorongan besar dalam hati untuk menuntun ibunya mengucap syahadat.
“Masuk sekarang. Di dada kayak ada yang ngomong gitu. Saya masuk dan saya bilang, ‘Mah ikut baca ya’. Ibu saya ikut saja. Saya tuntun syahadat. Ibu saya seumur hidup nggak pernah ngomong gitu (syahadat) tapi lancar. Setelah ngomong langsung nggak sadar kembali.”
Sorenya setelah maghrib, Mahdi kembali besuk. Ibunya sudah kembali sadar. “Ngomong gini sama saya. ‘Tadi mama tidur disini ada yang besuk’. Dalam mimpi begitu. ‘Kok orangnya pakai baju putih, pakai jubah-jubah semua’. Seminggu dari itu, ibu meninggal,” ujar Mahdi dengan mata berkaca-kaca.
Dakwah Masjid Berornamen Klenteng
Usia lulus kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Satya Wacana Salatiga, Mahdi pindah ke Magelang. Dia dipertemukan dengan Habib Abdurrahman Assegaf yang belakangan mengajaknya ke Solo untuk menemui Habib Anis Alhabsyi.
“Saya seperti ada panggilan kalau lihat pengajian. Saya pingin jadi mubaligh seperti itu. Dalam hati saya bilang begitu.”
Tiga tahun mengikuti rohah (majelis ilmu) Habib Anis, Mahdi dipertemukan dengan Habib Umar bin Husin Assegaf. Baliau lulusan pesantren Darul Musthofa, Tarim, Yaman, pimpinan Habib Umar bin Hafidz.
Sempat diajak tabarruk (mencari berkah) selama 5 bulan di Darul Musthofa, Mahdi mendapat isyarat untuk memulai dakwah. “Lima tahun belajar kepada Habib Umar bin Husin Assegaf. Mulai dikasih lampu hijau untuk dakwah.”
Mahdi diperintahkan menjadikan rumahnya sebagai tempat majelis taklim. Termasuk membangun Masjid Al Mahdi di Jalan Delima Raya, Kompleks Armada Estate, Magelang Utara, Kota Magelang.
Masjid berornamen mirip klenteng ini mulai dibangun tahun 2016. Tiang, atap, dan aksesoris masjid menonjol sekali menunjukkan kesan klenteng Tiongkok yang khas.
Kesan Tiongkok juga tampak dari cat masjid yang didominasi warna merah dan emas. Ciri masjid dari luar tampak pada puncak menara yang bertuliskan lafal Allah.
Sedangkan pada interior dipajang sejumlah kaligrafi Arab. Pada tiap pintu masjid dipajang hiasan babul ilmi (pintu ilmu) Alaydrus, Habsyi, Assegaf, dan bin Hafidz yang merujuk pada marga para guru Ustaz Mahdi.
“Saya terinsprirasi mengambil bentuk bangunan ini (klenteng) untuk syiar. Bahwa di China saja ada masjid. Perkembangan Islam sampai sana. Termasuk juga menarik orang untuk masuk Islam,” kata Mahdi.
Nama Mahdi adalah pemberian Habib Muhammad bin Hasan Alaydrus, guru pertama Ustaz Mahdi. Nama itu memiliki arti orang yang mendapat hidayah. “Alhamdulillah sudah ada 9 orang yang mendapat hidayah dan syahadat di masjid ini.”
Kedepan Ustaz Mahdi berencana meluaskan bangunan masjid untuk tempat menginap beberapa santri. Dia berharap dari pondok pesantren yang berada dekat Masjid Al Mahdi, lahir juru dakwah yang mampu menjawab tantangan jaman.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi
Berita Terkait
-
Muhammadiyah Usul Definisi Ulang Istilah Mualaf, Tidak Berlaku Seumur Hidup?
-
Jordi Onsu Kutip Ayat Alquran saat Bahas Agama, Ini Maknanya
-
Pendidikan dan Agama Jordi Onsu, Adik Ruben Sering Dikira Mualaf Beber Tak Makan Daging Babi
-
Nostalgia Orde Baru? Prabowo-Gibran Dikritik Kompak Pamer Simbol Militerisme Lewat Akmil
-
Jordi Onsu Dalami Islam, Ini Cara Menjadi Mualaf yang Perlu Dipahami
Terpopuler
- Vanessa Nabila Bantah Jadi Simpanan Cagub Ahmad Luthfi, tapi Dipinjami Mobil Mewah, Warganet: Sebodoh Itu Kah Rakyat?
- Reaksi Tajam Lex Wu usai Ivan Sugianto Nangis Minta Maaf Gegara Paksa Siswa SMA Menggonggong
- Kini Rekening Ivan Sugianto Diblokir PPATK, Sahroni: Selain Kelakuan Buruk, Dia juga Cari Uang Diduga Ilegal
- TikToker Intan Srinita Minta Maaf Usai Sebut Roy Suryo Pemilik Fufufafa, Netizen: Tetap Proses Hukum!
- Adu Pendidikan Zeda Salim dan Irish Bella, Siap Gantikan Irish Jadi Istri Ammar Zoni?
Pilihan
-
Kekerasan di Pos Hauling Paser, JATAM Desak Pencabutan Izin PT MCM
-
Jelajah Gizi 2024: Telusur Pangan Lokal Hingga Ikan Lemuru Banyuwangi Setara Salmon Cegah Anemia dan Stunting
-
Pembunuhan Tokoh Adat di Paser: LBH Samarinda Sebut Pelanggaran HAM Serius
-
Kenapa Erick Thohir Tunjuk Bos Lion Air jadi Dirut Garuda Indonesia?
-
Sah! BYD Kini Jadi Mobil Listrik Paling Laku di Indonesia, Kalahkan Wuling
Terkini
-
Dukungan Jokowi dan Prabowo Tak Mampu Dongkrak Elektabilitas Luthfi-Yasin? Ini Hasil Survei SMRC
-
Semarang Diperkirakan Hujan Ringan, Warga Diminta Tetap Waspada
-
Pentingnya Sanitasi Dasar untuk Kesejahteraan Warga Jawa Tengah
-
Local Media Community 2024 Roadshow Class Purwokerto: Trik Manfaatkan AI Untuk Sumber Pendapatan Baru
-
Produktivitas Sumur Tua Melejit, BUMD Blora Hasilkan 410.000 Liter Minyak!