Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 10 Februari 2022 | 08:19 WIB
Lokasi proyek pembangunan Bendungan Bener. [stimewa/Purworejokab.go.id]

SuaraJawaTengah.id - Konflik pengalihan lahan dari Masyarakat di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo menjadi perhatian banyak pihak.

Menolak proyek strategis pemerintah Bendungan Bener terus digaungkan aktivis lingkungan dan masyarakat yang kontra dengan proyek tersebut.

Konflik desa wadas terus menguras energi, dari masyarakat yang ketakutan, Polisi yang mengawal hingga Pemerintah yang menjadi pemerkasa proyek waduk bener.

Lalu muncul lah, pertanyaan, seberepa penting proyek bendungan Bener?

Baca Juga: Polisi Represif ke Warga Desa Wadas, KSP: Berlebihan, Perlu Dievaluasi

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyampaikan Waduk Bener di Kabupaten Purworejo nantinya diharapkan dapat mengairi 15.519 hektare sawah. Selain itu juga sebagai sumber energi baru dan meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar. 

"Waduk di Purworejo ini manfaat yang ingin didapatkan adalah jaringan irigasi yang kira-kira bisa mengairi sekitar 15.519 hektare, proses ini sejak 2013 dan kami mengawal terus-menerus," kata Ganjar dikutip dari ANTARA pada konferensi pers di Polres Purworejo, Rabu (9/2/2022).

Ia menuturkan pada saat proses berlangsung, informasi barangkali tidak tersampaikan dengan baik maka pihaknya konsolidasikan seluruh kekuatan yang ada di Pemprov Jateng untuk melakukan sosialisasi.

"Kami selalu membuka ruang komunikasi, ruang diskusi, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Prosesnya cukup panjang, gugatan cukup banyak dan sampai detik terakhir kemarin putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus kami laksanakan, itulah kenapa kami membuat tim bersama Kapolda, BPN, BBWS, bupati untuk menyelenggarakan tugas-tugas sesuai apa yang sudah menjadi rencana," katanya.

Ganjar menyampaikan beberapa kali pihaknya selalu mengajak Komnas HAM karena menjadi institusi netral yang diharapkan bisa menjembatani, barang kali kalau gubernur yang mengundang mungkin mereka merasa hanya di pihak pemerintah dan abai.

Baca Juga: Pengepungan Aparat di Desa Wadas, PBNU Minta Polisi Gunakan Cara Humanis dan Hindari Kekerasan

"Terakhir kami minta agar dihadirkan mereka yang setuju dan yang belum setuju. Pada saat pertemuan itu dilakukan, mereka yang belum setuju belum bisa hadir, maka akhirnya Komnas HAM datang ke Wadas untuk meyakinkan dan menjelaskan kepada mereka yang sebenarnya kami sangat menunggu-nunggu sehingga akan bisa memberikan ruang, bisa mendengarkan apa yang kemudian perlu kami sampaikan dan perlu kami jawab," katanya.

Menurut dia ini bagian dari cara mengajak lebih banyak masyarakat untuk bisa berpartisipasi agar kemudian pekerjaan ini bisa berjalan dengan mulus.

Ia menyampaikan dari sisi pengadaan lahan dan pembangunan bendungan Bener, status per November 2021 progres membayaran sudah 57,17 persen dengan nilai Rp689 miliar.

Kemudian terdapat 1.167 bidang dalam proses pengajuan pembayaran. Jika ini terbayar maka proses pembayarannya akan menjadi 72,3 persen. Selanjutnya sisanya ada 27,7 persen yang belum mendapatkan pembayaran atau penggantian, antara lain karena ada perbaikan dokumen administrasi 3,8 persen, ada proses gugatan perdata status banding ke Pengadilan Tinggi 2,9 persen dan ada kendala pengukuran di Desa Wadas 21 persen dan pihaknya membuka ruang untuk dialog.

"Dari data lahan yang terdampak di Desa Wadas catatan sementara kami sebelum diukur terakhir kemarin total lahan terdampak 617 bidang, di antaranya 346 bidang sudah setuju, 133 masih menolak, dan sisanya belum memutuskan dan pengukran ini hanya dilakukan untuk warga yang sudah setuju," katanya. 

Rencana penambangan batu di Desa Wadas menjadi sumber masalah

Berdasarkan laporan dari Angga Haksoro, Kontributor Suara.com, konflik di desa wadas adalah soal penambangan batu andesit. Desa tersebut akan berubah menjadi tambang, dan pastinya bisa merusak lingkungan, budaya dan sosial warga sekitar.

Spanduk warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo menolak tambang batu andesit. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera mengatakan Pemerintah dituding menyederhanakan masalah terkait dampak penambangan batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Penambangan batu dinilai merampas ruang hidup warga.

Halik menyebut kawasan tambang andesit akan mengubah bentang alam Desa Wadas. Kawasan tersebut menjadi penopang ekonomi masyarakat.

“Itu juga sebagai penopang ekonomi masyarakat. Ada banyak ragam tanaman, baik yang tegakan maupun yang sela,” kata Halik, Rabu (9/2/2022).

Bukit yang akan dijadikan lokasi tambang ditumbuhi tanaman produktif seperti aren, kopi, dan buah-buahan. Warga juga memanfaatkan bambu yang tumbuh di sekitar lokasi calon tambang untuk membuat kerajinan besek.

Survei potensi ekonomi yang dilakukan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, dan Lembaga Bantuan Hukum LBH Yogyakarta)  

Dalam survei potensi ekonomi yang dilakukan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, tanaman yang dibudidayakan di bukit calon tambang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Akumulasi nilai ekonomi per tahun dari panen petai diperkirakan mencapai Rp241 juta, kayu sengon Rp2 miliar, kemukus Rp 1,35 miliar, vanili Rp266 juta, dan durian Rp1,24 miliar. 

“Belum lagi misalnya yang harian itu ada pohon aren yang mereka panen untuk gula aren setiap pagi dan sore," paparnya.

Dampak jangka pendek yang akan dirasakan warga adalah menurunnya kualitas udara di Desa Wadas. Tutupan lahan yang berubah memicu perubahan suhu lokal. 

Halik Sandera mengritisi pendapat BBWSO yang menyebut proyek penambangan batu andesit tidak akan mengganggu pasokan air bersih warga.

Menurut dia, penambangan akan mengubah bentang alam Desa Wadas. Perubahan bentang alam akan mempengaruhi wilayah tangkapan air.

“Dampak lingkungan itu kalau belum terjadi, kemudian tidak menjadi fokus di luar warga yang menolak. Kesadaran warga bahwa itu menjadi ruang hidup dan kawasan penyangga kehidupan mereka, itu yang juga harus diperhatikan," tegasnya.

Pada konfrensi pers di Polres Purworejo, Rabu (9/2/2022) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu-Opak menjelaskan bahwa penambangan batu andesit di Desa Wadas tidak akan merusak mata air sekitar.

Berdasarkan penelitian BBWSO, di calon lahan tambang seluas 114 hektare hanya terdapat 1 mata air. Sedangkan 24 mata air lainnya berada di luar lokasi rencana penggalian.

Pada lokasi calon tambang juga tidak terdapat cekungan air tanah. Terdapat 4 cekungan air di dekat Sungai Bogowonto, namun berada di bukit yang berbeda sehingga dipastikan tidak akan mengganggu ketersediaan air warga Desa Wadas.

Rencana penggalian batu juga tidak akan meninggalkan lubang-lubang, sebab batu yang digali hanya pada kedalaman 33 meter. Dari total 114 hektare lahan tambang, hanya 60 hektare yang digali.

Sisanya sebanyak lebih dari 40 hektare akan digunakan untuk tempat menyimpan tanah hasil galian. Tanah itu yang nantinya digunakan untuk menutup kembali lubang bekas galian.

Suara Akademisi: Masalah di desa wadas bukan sekedar soal ganti untung

Akademisi Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Agung Wardana ikut memberikan komentar soal polemik desa Wadas melalui akun Twitter-nya

"Pengukuran yang konon hanya untuk bidang tanah warga yang setuju. Namun tindakan ini tidak bisa dilepaskan dari proses pengkondisian iklim represi oleh aparat yang beberapa bulan belakangan terus menurus memprovokasi warga," ujarnya melalui akun @agungwarancak yang dikutip Rabu (9/2/2022).

Warga desa wadas saat berkumpul di Masjid. Mereka kini dikepung oleh petugas. [Instagram/@wadas_melawan]

Menurutnya, pengkondisian iklim represi ini sudah umum digunakan. Tujuannya agar ada warga yang terprovokasi sehingga bisa melakukan sebuah tindakan pidana.

"Di sinilah SLAPP (strategic litigation against public participation) akan digunakan utk membungkam perlawanan. Bukti bahwa ada warga yang membawa senjata tajam dibesar-besarkan sehingga menjadi saj aparat mengambil tindakan represif. Jika penolakan warga mah kuat maka kasus sajam ini akan berubah menjadi proses pidana UU Darurat, lihat kasus Budhi Tikam di Bangka-Belitung," tulis dosen UGM tersebut.

"Konflik di Wadas bukan sekedar kepemilikan tanah yang bisa diselesaikan melalui “ganti untung”. Ini adalah urusan penghidupan bagi warga, baik pemilik tanah maupun bukan pemilik tanah, yg bersandar pada unit ruang tsb," ujarnya.

"Jangan lupa Rezim Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dipakai untuk merampas tanah warga juga bermasalah. Di sini, tanah hanya diartikan secara instrumental melekat pada pemiliknya sehingga nilainya pun sekedar dihargai hitung-hitungan berbasis NJOP."

Dosen UGM itu menegasakan tanah adalah ruang hidup, tidak sekedar bernilai instrumental sebagai aset ekonomi, tapi penanda identitas.

"Ia jg bermakna religius-magis sb medium relasi sosial baik generasi srkg n lintas generasi (dulu-sekarang-mendatang) melalui pewarisan," ujarnya.

Agung menjelaskan, pandangan yang kompleks atas tanah dan ruang hidup yang mengakar pada pengetahuan lokal menjadi dasar mengapa sulit sekali warga melepaskan tanahnya meski untuk kepentinhan umum.

"Kalau mau agak teoritis sedikit pake Roscoe Pound, kepentingan umum merupakan kepentingan yg didefinisikqn oleh negara. Negara bukan institusi netral sebagaimana kontrak sosial konsepsikan yang fungsinya sebagai penyeimbang kepentingan yang beragam dan berkonflik dalam masyarakat. Negara adalah perwujudan dari salah satu kepentingan yang berkonflik tersebut," jelasnya.

Jadi,lanjut Agung, kepentingan umum yg ia definisikan adalah kepentingan salah satu kelompok yang sudah berkonflik. Melalui label kepentingan umum, kepentingan tersebut mendapatkan legitimasi. Siapa yang menolak dilabelkan sebagai orang yang egois karena tidak mau berkorban untuk kepentingan umum.

"Kasus Wadas menjadi pembuktian atas wajah negara ketika berhadapan dengan warganya yang menolak upaya penghancuran atas ruang hidup dan pengetahuan lokal mereka," tegasnya.

Load More