Budi Arista Romadhoni
Senin, 07 Maret 2022 | 18:24 WIB
Jual Anak di Bawah Umur Rp500 Ribu Sekali Kencan, LBH APIK Desak Polisi Tangkap Mucikari Prositusi Online
Ilustrasi prostitusi online. LBH APIK Semarang, mendesak polisi seharusnya menjerat pelaku mucikari yang menjual anak di bawah umur melalui aplikasi kencan. [insidepontianak.com]

SuaraJawaTengah.id - Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, mendesak polisi seharusnya menjerat pelaku mucikari yang menjual anak di bawah umur berinisial S (13) melalui aplikasi kencan. 

S dijual seharga Rp500 ribu oleh dua pria yang berperan sebagai mucikari. Namun, dua  pria  tersebut justru dibebaskan aparat kepolisian. Serta kasus tersebut belum ada kejelasan sebulan lebih di Polrestabes Semarang. 

Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati mengatakan, mucikari dapat dijerat hukum sesuai peraturan perundangan di Indonesia. 

Ada beberapa pasal yang berkaitan dengan hal itu seperti diatur dalam pasal 296 KUHP dan pasal 506 KUHP. Serta, pasal 12 UU No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. 

"Setiap ketentuan hukum tersebut dapat  mucikari menjerat mucikari berupa penjara maupun denda," terangnya di Semarang, Senin (07/03/22).

Mucikari dapat dijerat hukum dengan berbagai bukti yang ada berdasarkan pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli,surat, petunjuk,dan  keterangan terdakwa.

Berdasarkan pasal tersebut, mucikari prostisusi online bisa dihukum melalui alat bukti yang sah seperti keterangan saksi, keterangan ahli perihal cyber crime. 

Lebih lanjut, visum korban, petunjuk lainnya dari kejahatan prostitusi online bisa berupa website, rekaman, foto, sms, line, WA, atau aplikasi lain yang digunakan mucikari.

Apabila mucikari mengakui perbuatannya dalam prostitusi online maka bisa menjadi alat bukti tindak pidana yang dilakukan pelaku. 

Baca Juga: Perwira Polisi AKBP M Jadi Tersangka Pemerkosaan Anak Dibawah Umur di Kabupaten Gowa

"Sangat disayangkan, acapkali pelaku mucikari tidak mengakui perbuatannya dihadapan polisi, sehingga diperlukan alat bukti pendukung lainnya agar memperkuat laporan korban," jelas Ayu.

Menurut Ayu, polisi yang melepas para terduga pelaku diduga belum bisa melakukan pendapat hukum. Serta tidak cukupnya alat bukti, minimal dua alat bukti. Ataupun keyakinan adanya peristiwa hukum, sehingga belum dapat  dikatakan seseorang sebagai tersangka.

"Dari contoh hal tersebut, menjadi laporan di kepolisian ditolak mentah lantaran kurangnya alat bukti yang memperkuat seseorang sebagai tersangka," katanya.

Meski demikian, ia mengatakan, kepolisian seharusnya melakukan analisa hukum yang tepat bagi kasus tersebut agar penerapan pasal yang diberikan kepada pelaku sesuai aturan hukum yang berlaku sehingga ada keadilan bagi korban.

Kemudian memberikan informasi hak-hak korban antara lain pemulihan psikologis, hak memperoleh bantuan hukum tanpa stigma dan diskriminasi selama proses hukum.

"Pemulihan psikologis bagi korban sangat penting dan perlu karena hal itu sebagai hak korban yang telah diatur di perundang-undangan."

Load More