SuaraJawaTengah.id - Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, mendesak polisi seharusnya menjerat pelaku mucikari yang menjual anak di bawah umur berinisial S (13) melalui aplikasi kencan.
S dijual seharga Rp500 ribu oleh dua pria yang berperan sebagai mucikari. Namun, dua pria tersebut justru dibebaskan aparat kepolisian. Serta kasus tersebut belum ada kejelasan sebulan lebih di Polrestabes Semarang.
Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati mengatakan, mucikari dapat dijerat hukum sesuai peraturan perundangan di Indonesia.
Ada beberapa pasal yang berkaitan dengan hal itu seperti diatur dalam pasal 296 KUHP dan pasal 506 KUHP. Serta, pasal 12 UU No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
"Setiap ketentuan hukum tersebut dapat mucikari menjerat mucikari berupa penjara maupun denda," terangnya di Semarang, Senin (07/03/22).
Mucikari dapat dijerat hukum dengan berbagai bukti yang ada berdasarkan pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli,surat, petunjuk,dan keterangan terdakwa.
Berdasarkan pasal tersebut, mucikari prostisusi online bisa dihukum melalui alat bukti yang sah seperti keterangan saksi, keterangan ahli perihal cyber crime.
Lebih lanjut, visum korban, petunjuk lainnya dari kejahatan prostitusi online bisa berupa website, rekaman, foto, sms, line, WA, atau aplikasi lain yang digunakan mucikari.
Apabila mucikari mengakui perbuatannya dalam prostitusi online maka bisa menjadi alat bukti tindak pidana yang dilakukan pelaku.
Baca Juga: Perwira Polisi AKBP M Jadi Tersangka Pemerkosaan Anak Dibawah Umur di Kabupaten Gowa
"Sangat disayangkan, acapkali pelaku mucikari tidak mengakui perbuatannya dihadapan polisi, sehingga diperlukan alat bukti pendukung lainnya agar memperkuat laporan korban," jelas Ayu.
Menurut Ayu, polisi yang melepas para terduga pelaku diduga belum bisa melakukan pendapat hukum. Serta tidak cukupnya alat bukti, minimal dua alat bukti. Ataupun keyakinan adanya peristiwa hukum, sehingga belum dapat dikatakan seseorang sebagai tersangka.
"Dari contoh hal tersebut, menjadi laporan di kepolisian ditolak mentah lantaran kurangnya alat bukti yang memperkuat seseorang sebagai tersangka," katanya.
Meski demikian, ia mengatakan, kepolisian seharusnya melakukan analisa hukum yang tepat bagi kasus tersebut agar penerapan pasal yang diberikan kepada pelaku sesuai aturan hukum yang berlaku sehingga ada keadilan bagi korban.
Kemudian memberikan informasi hak-hak korban antara lain pemulihan psikologis, hak memperoleh bantuan hukum tanpa stigma dan diskriminasi selama proses hukum.
"Pemulihan psikologis bagi korban sangat penting dan perlu karena hal itu sebagai hak korban yang telah diatur di perundang-undangan."
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Ini Deretan Kesiapan Tol Semarang-Solo Sambut Lonjakan Pengguna Jalan Akhir Tahun
-
UMKM Malessa Tumbuh Pesat, Serap Tenaga Kerja dan Perluas Pasar
-
PKL Semarang Naik Kelas! Kini Punya Manajer Keuangan Canggih di Fitur Aplikasi Bank Raya
-
5 Mobil Bekas Rp50 Jutaan Terbaik 2025: Dari MPV Keluarga Sampai Sedan Nyaman
-
P! Coffee dan BRI Ajak Anak Muda Semarang Lari Bareng, Kenalkan Literasi Finansial