Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 24 September 2022 | 10:54 WIB
Ilustrasi mobil listrik. Pengamat menyebut ekosistem yang perlu disiapkan pemerintah untuk pengembangan kendaraan listrik (EV) nasional dimulai dari penataan ulang sistem energi nasional. (Shutterstock).

SuaraJawaTengah.id - Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Pasaribu menilai ekosistem yang perlu disiapkan pemerintah untuk pengembangan kendaraan listrik (EV) nasional dimulai dari penataan ulang sistem energi nasional.

"Mulai dari produksi energi yang juga benar-benar menggunakan energi baru dan terbarukan hingga menata ulang sistem grid kelistrikan nasional untuk distribusi energi ke masyarakat sebagai pelanggan akhirnya," kata Yannes ANTARA pada Sabtu (24/9/2022).

Lebih lanjut ia menilai, PLN sebagai penyedia listrik utama nasional harus segera menata ulang model bisnisnya saat ini.

"Tidak lagi boleh bergantung pada pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil yang padat polusi untuk menjual listrik yang benar-benar bersih," ujar dia.

Baca Juga: Habiskan Rp 250 Ribu Sehari Jika Pakai Mobil Biasa, Wagub Jabar Ngaku Cuma Keluar Segini saat Pakai Kendaraan Listrik

Selanjutnya, Yannes berpendapat penyiapan stasiun pengisian listrik dan stasiun baterai swapping harus dilakukan secara bersamaan, mengingat tidak mudah untuk menata ulang secara cepat jaringan listrik yang ada di seluruh Indonesia.

"Pola pikir pengembangan ekosistem EV nasional harus dimulai oleh seluruh stakeholder secara serempak, dari tataran pembuat kebijakan hingga pelaksanaannya di lapangan dan ada koordinasi yang kuat lintas departemen. Tidak akan berhasil jika tetap dijalankan dengan pola kerja yang parsial," kata Yannes.

Selain itu, Yannes mengatakan, pemerintah dan para pelaku industri dan bisnis kendaraan EV harus berfokus pada bagaimana pemahaman masyarakat secara inklusif sebagai calon pelanggannya akan benar-benar siap dan menggunakan semua fitur produk dan layanan yang tersedia bagi mereka.

"Mulai dari penyediaan energi, kendaraan, baterai dan jaminan keamanannya, layanan purna jual, hingga sampai pada harga kendaraan bekasnya," katanya.

Saat disinggung soal kebijakan pengurangan emisi karbon bidang otomotif Indonesia, Yannes menilai kebijakan yang sudah dibuat perlu didukung dengan berbagai peraturan teknis operasional di jajaran pelaksanaan lapangan dengan cepat agar masyarakat mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan logis.

Baca Juga: Analis: Program Kendaraan Listrik Berpotensi Hemat Biaya Subsidi BBM

"Sekadar instruksi, surat keputusan hingga imbauan dari high level tidaklah cukup," ucap dia.

Menurut Yannes, pemerintah perlu mendorong percepatan implementasi pengurangan karbon ini dengan menambahkan lagi berbagai insentif yang dapat membuat harga komponen baterai yang merupakan komponen termahal di kendaraan menjadi lebih murah dan terjangkau.

Kemudian, ia menambahkan, secara bertahap pemerintah perlu segera menerapkan pajak kendaraan bermotor berbasis karbon sebagai unsur paksaan agar secara rasional masyarakat mulai beralih ke kendaraan dengan polusi yang semakin rendah.

Lalu, pemerintah perlu segera memproduksi bahan bakar pengganti BBM fosil yang sudah menggerus ratusan triliun subsidi dari kas negara untuk mesin bensin, misalnya dengan mempercepat produksi dan pemasaran bioetanol sebagai campuran BBM dengan model bisnis seperti yang sudah diterapkan melalui biodiesel.

"Etanol hingga kadar 15 persen dapat dicampurkan pada bensin dan digunakan sebagai bahan bakar otomotif pada banyak kendaraan ICE (internal combustion engine) tanpa perlu modifikasi," kata Yannes.

Sementara, untuk para pemangku kepentingan industri otomotif nasional untuk mendukung dan mengakselerasi kebijakan pengurangan emisi karbon nasional adalah di samping segera mempersiapkan produksi mesin motor bakar fleksibel yang mampu digunakan hingga 100 persen etanol hingga segera berinvestasi di battery electric vehicle (BEV).

"Produsen mobil perlu untuk mengubah model bisnis mereka untuk membuat harga BEV terjangkau pangsa pasar terbesar di Indonesia hingga berada di kisaran Rp300 juta ke bawah dengan dukungan subsidi untuk pembeli dari pemerintah terutama untuk harga baterainya," ujarnya.

Load More