Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 05 Oktober 2022 | 16:25 WIB
Ilustrasi suntik vaksin booster. Edukasi kepada masyarakat terkait dengan masa transisi pandemi menuju endemi, khususnya mengenai vaksinasi dosis ketiga atau penguat (booster) penting dilakukan. [freepik]

SuaraJawaTengah.id - Epidemiolog lapangan dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dr Yudhi Wibowo mengingatkan pentingnya edukasi kepada masyarakat terkait dengan masa transisi pandemi menuju endemi, khususnya mengenai vaksinasi dosis ketiga atau penguat (booster).

"Saya kira upaya edukasi dan informasi dari pemerintah sudah cukup masif ya. Hanya saja, memang mungkin pemahaman di level masyarakat yang masih cukup banyak terpengaruh oleh berita hoaks," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (5/10/2022).

Dalam hal ini, kata dia, masyarakat yang seharusnya sudah mendapatkan vaksin dosis ketiga justru menyampaikan banyak alasan untuk menolak vaksin.

Ia mengaku sering bertemu masyarakat yang enggan divaksin dosis ketiga dengan alasan memiliki tekanan darah tinggi.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Segera Berakhir, Jokowi Khawatir Soal Pemulihan Ekonomi

"Saat saya tanya berapa tekanan darahnya, dia bilang kalau di bawah 180. Padahal, kalau di bawah 180 itu masih bisa divaksin," katanya.

Selain darah tinggi, kata dia, ada juga masyarakat yang enggan divaksin dengan alasan memiliki riwayat penyakit kencing manis.

Ia mengatakan selama penyakit kencing manis itu masih terkontrol dan terkendali, masih boleh untuk mendapatkan vaksin COVID-19.

"Artinya, kan justru kelompok-kelompok ini yang harusnya memperoleh prioritas untuk mendapatkan vaksin, karena mereka kelompok-kelompok rentan yang harus dilindungi," kata Yudhi.

Oleh karena itu, kata dia, harus tetap ada edukasi kepada masyarakat untuk meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya vaksinasi.

Baca Juga: Jokowi: Sebentar Lagi Mungkin Pandemi Berakhir, Tapi Ekonomi Justru Tidak Semakin Baik

Menurut dia, vaksin memang tidak mencegah transmisi penularan, tetapi bisa menurunkan angka kesakitan yang fatal, bahkan kematian.

"Itu yang harus dipahami oleh masyarakat," tegasnya.

Ia mengakui upaya yang dilakukan pemerintah sudah masif dan sekarang telah dikembalikan ke sistem yang berarti kewenangan ada di Kementerian Kesehatan.

Dengan demikian, kata dia, setiap Puskesmas akan bekerja sama dengan klinik-klinik swasta untuk menyediakan layanan vaksinasi bagi masyarakat yang seharusnya sudah mendapatkan vaksin penguat.

"Ada kendala memang. Saya mendapat informasi bahwa stok vaksin di beberapa Puskesmas saat ini kosong. Ini kan masalah distribusi vaksin, terutama kesiapan dan persiapan stock opname dari vaksin agak terlambat," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, ketersediaan vaksin harus benar-benar diperhatikan agar layanan vaksinasi di Puskesmas tidak sampai terhenti.

Disinggung mengenai upaya yang perlu dilakukan pemerintah daerah pada masa transisi pandemi menuju endemi, Yudhi mengatakan hal itu hanya perubahan terminologi saja, karena sebetulnya COVID-19 masih ada di tengah masyarakat.

"Itu (COVID-19) menjadi ancaman kesehatan kita," katanya.

Yudhi mengatakan sekitar 80 persen pasien yang berobat itu mengalami inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan beberapa di antaranya diduga terkena COVID-19.

Bahkan, banyak anak usia di bawah 18 tahun yang mengalami ISPA, sehingga vaksin penguat harus mulai diberikan kepada mereka yang hingga saat ini baru mendapatkan vaksin dosis kedua.

"Tentunya langkah-langkah yang dilakukan pemerintah saat ini menuju kondisi ke arah endemi. Jadi, semua ketentuan regulasinya sudah disiapkan untuk menuju ke arah itu," katanya.

Lebih lanjut, Yudhi mengaku sepakat dengan pendapat beberapa pakar, termasuk dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa nantinya vaksin COVID-19 seolah-olah menjadi kebutuhan rutin dan kemungkinan setiap tahun harus divaksin.

Ia mengatakan jika pernyataan tersebut menjadi kenyataan, akan repot, karena saat sekarang masih berstatus pandemi, sehingga biaya penanganan COVID-19 termasuk vaksinasi masih ditanggung oleh pemerintah.

"Akan tetapi, ketika statusnya sudah menjadi endemi, kan pemerintah tidak menanggung itu semua lagi. Mudah-mudahan BPJS Kesehatan bisa menanggung ini," katanya.

Ia mengatakan jika pemerintah sudah tidak menanggung biaya vaksinasi, konsekuensinya masyarakat harus membeli.

"Bayangkan, saat ini yang gratis saja kan cakupan untuk booster masih rendah. Kalau berbayar, bisa dibayangkan lagi, bisa-bisa enggak ada lagi yang mau vaksin, ini problem," ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia, masyarakat harus memahami bahwa perubahan terminologi dari pandemi menjadi endemi ada konsekuensinya dari sisi pembiayaan.

Hal itu disebabkan saat masih pandemi, semua pembiayaan akan ditanggung oleh pemerintah, karena merupakan wabah nasional, namun ketika sudah endemi, semua kebijakan pembiayaan tersebut harus dicabut.

"Menurut saya, kalau saat ini ada kesempatan untuk vaksinasi penguat bagi yang memenuhi syarat, kenapa tidak? Vaksin penguat itu ada manfaatnya," katanya. [ANTARA]

Load More