Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 23 Januari 2025 | 17:40 WIB
Dua sopir angkot Kota Semarang jurusan Johar-Mangkang menunggu penumpang di Sekitar Pasar Johar, Kamis (23/1/2025). [Suara.com/Budi Arista Romadhoni]

SuaraJawaTengah.id - Karyadi, 53, sopir angkutan umum Kota Samarang pasrah menghadapi kemajuan zaman di era digital saat ini. Ia hanya berharap bisa makan setiap hari di tengah perkembangan transportasi umum.

Modernisasi rupanya tak selalu memberikan dampak positif kepada masyarakat. Salah satunya adalah transportasi umum yang kini sudah tersedia layanan ojek online dan taksi online.

Angkutan umum (angkot) di Semarang yang sering dipanggil Daihatsu kini semakin malang nasibnya. Bahkan, hasilnya dalam sehari tak cukup untuk memberikan kehidupan yang layak bagi para sopirnya.

Karyadi yang sudah tidak lagi muda itu sudah menggantungkan hidupnya dari angkot sekitar 12 tahun. Ia menyebut, sekarang semakin susah untuk mencari uang.

Baca Juga: Semarang Diprediksi Hujan Ringan, BMKG Peringatkan Potensi Banjir Rob di Jawa Tengah

"Dulu ramai, sehari cari Rp110 ribu bisa, sekarang nyari uang Rp50-75 ribu susahnya. Mau kerja lain enggak bisa. Nunggu keajaiban," ujarnya saat ditemui di sekitar Pasar Johar Kota Semarang, pada Kamis (23/1/2025).

Pria yang memiliki satu anak itu menyebut penghasilannya menjadi sopir angkot tak cukup jika untuk menghidupi keluarga. Ia mengaku terkadang harus nombok untuk setoran kepada pemilik Mobil Daihatsu jurusan Johar-Mangkang.

"Tidak mesti hasilnya, kadang malah nombok. Yang lumayan kalau ada carteran. Bisa untuk nutup setoran Rp70 ribu," ucapnya. 

Dalam pikirannya menjadi sopir angkot terpenting adalah bisa makan dan hidup sehat.  "Yang penting jalan, bisa makan, penting isi perut," ujarnya.

Karyadi pun mengungkapkan, tarif angkutan umum di Semarang tidak mahal, Johar-Karangayu hanya Rp5 ribu. Sementara jurusan Johar-Mangkang Rp10 ribu.

Baca Juga: Sejarah Komunitas Muslim Tionghoa di Semarang: Jejak Harmoni Budaya dan Agama

"Kalau penumpangnya kurang ya nombok, daihatsu PP aja sudah Rp35 ribu ongkos bensinya. Kalau penumpang cuma dua atau tiga ya rugi. Cari penumpang susah, jam ramai kita kalah sama BRT dan ojek online," ucapnya.

Ia meminta pemerintah untuk bisa memberikan solusi kepada para pengusaha angkutan umum dan para sopirnya. Selain, itu juga diberikan kesempatan bekerja dengan tidak ada pembatasan umur.

"Pemerintah harusnya ngasih lowongan yang umurnya bebas, saya mau banget kalau ada. Karena lowongan banyak yang maksimal 40 tahun. Saya ya enggak bisa apa-apa, sudah tereliminasi. Padahal saya nyetir mobil sampai sumatra juga kuat,” ujarnya.

Senada dengan Gogon Kusuma, 32, yang juga menjadi sopir angkutan umum jurusan Johar-Mangkang. Ia pernah mengadu nasib ke Jakarta, dan pindah ke Semarang saat Covid-19 melanda.

"Dulu saya angkot Jakarta kena covid pulang ke semarang. Tapi ternyata sepi hasilnya  cukup buat makan. Sisanya cuma Rp20-30 ribu, setorannya padahal Rp75 ribu," kata Gogon.

Ia berharap, pemerintah benar-benar memperhatikan masyarakat kalangan bawah dalam mengambil kebijakan transportasi publik.

"Harapannya ya ada kebijakan baru dari pemerintah untuk transportasi ini," ujar Gogon Sopir Angkot Kota Semarang.

Load More