Keunikan Masjid Saka Tunggal di Banyumas dan Legenda Santri Dikutuk

Disebut Masjid Saka Tunggal karena masjid di Banyumas, Jawa Tengah itu berdiri hanya menggunakan satu tiang

Bangun Santoso
Sabtu, 11 Mei 2019 | 13:54 WIB
Keunikan Masjid Saka Tunggal di Banyumas dan Legenda Santri Dikutuk
Masjid Saka Tunggal di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. (Suara.com/Teguh Lumbiria)

SuaraJawaTengah.id - Sebuah lembah yang diapit perbukitan di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menyimpan sejumput sejarah bagi umat Islam. Di desa kecil itu, berdiri kokoh sebuah masjid bernama Masjid Baitussalam, atau juga dikenal dengan Masjid Saka Tunggal.

Disebut Masjid Saka Tunggal karena masjid tersebut hanya ditopang oleh satu tiang atau dalam Bahasa Jawa disebut saka.

Masjid berukuran 15x17 meter ini diyakini dibangun sekitar tahun 1288 Masehi. Tokoh pendirinya adalah Kiai Mustolih atau akrab disapa Mbah Tolih, yang juga merupakan tokoh penyebar Islam di daerah itu.

Penuturan akan sejarah Masjid Saka Tunggal itu pula yang didapat oleh sejumlah jemaah. Termasuk di dalamnya, Imam Masjid Saka Tunggal yang juga juru kunci generasi ke-12, Sulam.

Baca Juga:Beribadah di Masjid Ini, Barang Jemaah yang Hilang Akan DIganti

Meski demikian, Sulam mengakui masih membutuhkan penelitian mendalam mengenai penuturan sejarah Masjid Saka Tunggal itu.

"Cerita dari sepepuh memang demikian," kata Sulam saat ditemui Suara.com, Jumat (10/5/2019).

Terlepas dari penuturan sejarah, Masjid Saka Tunggal memang memiliki kekhasan dan lain dari bangunan masjid pada umumnya. Dilihat dari bangunannya, dinding masjid terbuat dari anyaman-anyaman bambu.

Kemudian masuk ke dalam, terdapat saka atau tiang penyangga berukuran sekitar 40x40 sentimeter, dengan tinggi sekitar 5 meter. Saka ini yang menjadi penyangga langit-langit atau wuwungan masjid.

Kemudian pada bagian ujung atas saka tunggal, ada empat sayap kayu yang dikenal 4 kiblat, 5 pancer. Pemaknaannya menunjuk 4 arah mata angin dan 1 pusat atau arah menunjuk ke atas.

Baca Juga:Kisah Masjid Keramat, Saksi Bisu Islam Masuk ke Kalimantan Selatan

Sampai saat ini, Masjid Saka Tunggal itu masih aktif dijadikan pusat kegiatan ibadah warga setempat. Sulam menghitung, jamaah masjid sekitar 100 orang.

Saat Ramadan ini, masjid itu juga rutin diselenggarakan salat berjamaah, baik salat wajib 5 waktu, maupun salat tarawih. Setelah itu, dilaksanakan tadarus Alquran, hingga malam hari.

Kemudian menjelang 10 hari ketiga di bulan Ramadan, juga rutin digelar tradisi "likuran". Tradisi ini menjadi penanda 10 hari terakhir dalam melaksanakan ibadah puasa.
"Pelaksaannya waktu berbuka puasa, pada hari ke-20 puasa menuju ke-21," kata Sulam.

Hanya, hitungan hari ke-20 puasa itu, berbeda dengan hitungan bulan Ramadan dari penetapan pemerintah. Bahwa penetapan tanggal 1 dari pemerintah, untuk bulan Ramadan 1440 Hijriyah ini jatuh pada Senin (6/5). Sedangkan masyarakat di wilayah setempat, mengawali puasa mulai Selasa pahing, atau bertepatan dengan 7 Mei 2019.

"Jadi nanti (untuk hitungan tanggal 20 Ramadan) berbeda," kata Sulam.

Pengikut Aboge

Jamaah masjid Saka Tunggal hingga saat ini menggunakan almanak Jawa, Alif Rebo Wage atau Aboge.

Menurut Pengikut Aboge asal Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen, Tarsono (64), sesuai perhitungan turun temurun, untuk tahun 2019 ini bertepatan dengan tahun Jawa Be. Untuk menentukan awal Ramadan, biasanya pengikut Aboge akan menghitung pada hari keenam dan pasaran kedua dari awal hari pasaran Bulan Muharam tahun Jawa Be tersebut.

"Bemisgi artinya awal tahun Be jatuh pada Kemis Legi. Kalau Ramadan akan dipergunakan Donemro (Romadon Enem Loro) atau Sanemro (Puasa Enem Loro). Jadi hari ke-6 dan ke-2 dari Kamis Legi adalah Selasa Pahing," jelasnya.

Selain awal Bulan Ramadan, untuk menentukan awal Syawal juga telah bisa dihitung oleh pengikut Aboge. Untuk menentukan awal Syawal maka mereka menggunakan rumus Waljiro (Syawal Siji Loro), artinya awal Syawal jatuh pada hari pertama dan pasaran kedua dari Kamis Legi.
"Jadi hitungannya satu Syawal nanti akan jatuh pada hari Kamis Pahing," kata Tarsono.

Legenda Moyet dan Santri Dikutuk

Seorang warga melihat monyet di sekitar Masjid Saka Tunggal, Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. (Suara.com/Teguh Lumbiria)
Seorang warga melihat monyet di sekitar Masjid Saka Tunggal, Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. (Suara.com/Teguh Lumbiria)

Satu pemandangan khas ketika mengunjungi Masjid Saka Tunggal Baitussalam adalah keberadaan hewan monyet berkaki panjang. Hewan ini kerap berkeliaran di sekitar masjid sekalipun dalam waktu tertentu bernaung di perbukitan dan hutan di wilayah itu.

Bagi para pengunjung atau wisatawan religi, keberadaan monyet menjadi daya tarik tersendiri. Hewan primata ini tampak manja saat diberi makanan, seperti jagung, kacang, apalagi pisang. Tak jarang, momentum tersebut diabadikan dalam jepretan kamera oleh para pengunjung.

Imam Masjid Saka Tunggal yang juga Juru kunci generasi ke-12, Sulam menceritakan, jumlah monyet di wilayah tersebut mencapai ratusan lebih. Masing-masing hidup berkelompok, dengan tempat naungan yang berbeda-beda.

Sementara itu, bagi masyarakat sekitar, keberadaan hewan dengan nama latin macaca fascicularis itu memiliki cerita yang melegenda.

Konon, monyet ini merupakan santri yang boleh dibilang nakal. Di saat yang lain melaksanakan ibadah salat Jumat, ia justru asyik mencari ikan di sungai. Saat diingatkan, ia tetap membandel. Karena itu, kemudian dikutuk menjadi monyet.

"Itu legenda, cerita rakyatnya demikian," kata Sulam.

Namun benar atau tidaknya cerita legenda itu, ada hikmah dan pelajaran yang bisa diperoleh dari kisah itu. Sebagai seorang muslim, sudah semestinya terpanggil ketika ada kumandang azan sebagai ajakan menjalankan ibadah salat.

"Ketika ada kumandang azan, bergegaslah ke masjid (untuk sholat), biar tidak disamakan dengan kebiasaan itu (monyet)," kata dia.

Terlepas dari cerita yang melegenda, kehidupan monyet dan masyarakat setempat, hingga saat ini tetap berdampingan. Sekalipun dalam sejumlah kesempatan, monyet-monyet ini suka memakan hasil tanaman pangan di perkebunan. Namun masyarakat setempat yang umumnya petani tetap maklum.

"Ketika ada tanaman palawija yang sudah berbuah, terkadang suka dimakan. Tapi tidak ada yang menyerang warga, jadi tetap berdampingan," kata salah satu bilal Masjid Saka Tunggal, Juki.

Dalam kesehariannya, banyak warga yang memberi makan. Ketika ada makanan sisa, seperti nasi, juga umumnya diberikan untuk monyet.

Begitu juga kepada pengunjung. Sepengetahuan Juki yang sudah berusia 50 tahun itu, tidak ada monyet yang pernah menyerang pengunjung. Sebaliknya, monyet-monyet itu kerap manja, apalagi ketika diberi makanan.

"Jadi senang sekali kalau diberi makan,'' kata dia.

Kontributor : Teguh Lumbiria

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak