SuaraJawaTengah.id - Usia Sumiyem 75 tahun, dia hidup sendiri di sebuah gubuk reyot di Kampung Sidomulyo, RT 050 RW 015, Kelurahan Sragen Wetan, Sragen. Tak Hanya itu, janda miskin ini hidup sebayang kara dan serba kekurangan.
Mirisnya, dia tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemrintah. Kebutuhan sehari-harinya lebih banyak ditopang oleh anaknya yang bekerja sebagai buruh. Tetangga Sumiyem juga sering membantu ala kadarnya.
“Saya juga tidak tahu, mengapa Mbah Sumiyem tidak pernah mendapat bantuan [dari pemerintah]? Padahal dia janda sebatang kara yang layak di bantu. Justru warga sekitar sini yang biasa datang membantu memberi makanan. Kadang saya berpikir, bagaimana kalau Mbah Sumiyem jatuh sakit? Siapa yang tahu kalau dia terbaring sendirian saat menahan sakit di rumah,” ujar Darmi, 42, tetangga depan rumah dari Sumiyem.
Sumiyem yang sudah tidak bekerja. Dia mengandalkan bantuan dari tetangga di sekitar rumahnya untuk bertahan hidup.
Baca Juga:Sembako Kiriman Dikasih ke Janda Miskin, Marni: Kita Tak Mati Jika Berbagi
Para tetangga bingung kenapa janda sebatang kara di Sragen itu tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat.
Saat Solopos.com (jaringan Suara.com) berkunjung ke sana, Selasa (28/4/2020) kemarin. Lantai tanah di dalam rumah Sumiyem masih basah akibat hujan semalam. Itu menandakan bila rumahnya sudah bocor.
Dinding yang terbuat dari anyaman bambu juga sudah keropos di sana-sini. Rasanya, tinggal menunggu waktu saja gubuk reyot itu bakal ambruk.
Tetapi Sumiyem sama sekali tidak berniat memperbaiki rumahnya karena tidak memiliki biaya. Dua dia memang sempat mendapat tawaran perbaikan rumah.
Namun, dia tidak bisa menyiapkan dana yang diminta untuk menambah pembelian material.
Baca Juga:Kelaparan Saat Corona, Janda Miskin di Pekanbaru Cuma Makan Nasi Lauk Cabai
“Dulu saya memang pernah mendapat tawaran perbaikan rumah [RTLH] oleh Pak RT. Tapi, saya diminta menyiapkan dana Rp 11 juta dahulu [untuk tambahan pembelian material]. Karena saya tak punya uang sepeser pun, akhirnya rumah saya urung dibangun,” paparnya.
Sumiyem sudah 35 tahun menjanda. Suaminya, Cipto Supatmo, meninggal akibat kecelakaan pada 1985 silam.
Sejak saat itu dia harus memeras keringat untuk membesarkan 7 anaknya dengan berjualan gorengan keliling kampung.
Sayang, dua dari 7 anaknya meninggal dunia. Kini Sumiyem hidup sendirian lantaran lima anaknya yang telah berumah tangga dan merantau ke berbagai wilayah.
Tiga anaknya merantau ke Jember, Surabaya (Jawa Timur), dan Subang (Jawa Barat). Sementara dua lainnya tinggal di Sukodono dan Sragen Wetan.
Meski ada dua anak yang tinggal di Sragen, Sumiyem enggan menjadi beban mereka. Itulah sebabnya janda tua ini memilih hidup sebatang kara di gubuk reyot di Kampung Sidomulyo, Sragen.
Salah satu anak Sumiyem yang tinggal paling dekat dengan rumahnya bekerja sebagai buruh. Biasanya sepekan sekali dia bakal disambangi sang anak dan diberi uang.
“Anak saya yang paling dekat rumahnya dari sini itu hanya bekerja sebagai buruh. Biasanya sepekan sekali dia datang ke mari. Kalau ada uang, biasanya saya dikasih Rp 70.000,” terang Sumiyem.