Polda Jateng Klaim Tak Halangi Wartawan Saat Meliput Aksi Demo

Wartawan Suara.com sempat menerima perlakuan represif dari pihak kepolisian saat meliput bentrok peserta aksi demo dengan petugas di Kota Semarang

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 08 Oktober 2020 | 14:13 WIB
Polda Jateng Klaim Tak Halangi Wartawan Saat Meliput Aksi Demo
Ilustrasi Jurnalis [shutterstock]

SuaraJawaTengah.id - Bentrokan antara Polisi dengan peserta aksi unjuk rasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja di Kota Semarang tak bisa dihindarkan pada Rabu (7/20/2020) kemarin. 

Jurnalis Suara.com Muhammad Dafi Yusuf mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari aparat kepolisian. Ia dilarang merekam saat para petugas polisi membubarkan para pendemo. 

Menanggapi hal tersebut, Kabidhumas Polda Jateng Kombes Pol Iskandar Fitriana Sutisna menegaskan, aparat kepolisian tidak pernah menghalang-halangi wartawan saat meliput kegiatan apapun.

"Bahwa polisi tidak pernah melarang jurnalistik apalagi menghalang-halangi kegiatan peliputan wartawan sepanjang ada identitas wartawan," katanya dalam press rilis, Kamis (8/10/2020).

Baca Juga:Bikin Merinding, Buruh Bawa Spanduk Berisi Doa Rasulullah Untuk Pemimpin

Menurutnya, unjuk rasa awalnya berjalan dengan damai namun tak disangka kegiatan tersebut berujung anarkis. Ia mengaku, aparat kepolisian berusaha dengan kekuatan yang ada untuk melindungi warga termasuk para jurnalis dari aksi kekerasan para demonstran.

"Polisi berusaha melindungi warga dari aksi kekerasan agar tidak menjadi korban," ucapnya. 

Lebih lanjut, Kabidhumas Polda Jateng juga memberikan imbauan kepada para pendemo. Diantaranya agar mentaati UU kebebasan penyampaian pendapat dimuka umum, mentaati protokol kesehatan karena masih terjadi pandemi Covid 19. 

Selain itu, ia juga mengimbau kepada warga, agar tidak mendekat apalagi menonton aksi demo yang sedang berlangsung.

"Sebaiknya langsung pulang kerumah dan berdoa agar tidak terjadi aksi anarkis oleh pendemo, juga Untuk  warga atau siswa/mahasiswa yang belum tau tujuan dari demo agar tidak ikut ikutan demo," ucapnya. 

Baca Juga:BEM Nusantara di Simpang Tiga UIN: Pemerintah Harusnya Selesaikan Pandemi!

Sebelumnya, Jurnalis Suara.com Muhammad Dafi Yusuf, mengatakan, selain melarang untuk mengabadikan momen unjuk rasa,  polisi juga memaksa wartawan untuk menghapus sejumlah file gambar dalam bentuk video maupun foto yang diambil wartawan.

"Dilarang, ketika merekam massa aksi yang dipukuli, aku disuruh tidak merekam, dan video disuruh hapus," kata Dafi, Rabu (7/10/2020). 

AJI Semarang menilai sikap aparat kepolisian itu melanggar undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, khususnya dalam Pasal 18 yang menyebut, setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.

Tercatat ada dua jurnalis yang melapor ke AJI Semarang, masing-masing Muhammad Dafi Yusuf dari suara.com yang mengaku diminta oleh polisi untuk tidak mengambil gambar dan menghapus video saat liputan. Selain itu, serta Praditya Wibi dariserat.id juga mengalami hal yang sama. 

"Tak menutup kemungkinan perlakuan polisi itu juga dialami oleh jurnalis lain," kata Ketua AJI Semarang, Edi Faisol, Rabu (7/10/2020). 

Menurutnya, langkah itu sangat mencoreng intitusi kepolisian yang seharusnya melindungi publik. Langkah aparat kepolisian itu sangat keliru karena tak profesional dalam menjalankan tugas sebagai aparat yang seharusnya mengayomi dan mejaga keamanan sipil. 

"Polisi tak memahami produk hukum yang seharusnya ditegakkan bukan justru melanggar," imbuhnya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini