SuaraJawaTengah.id - Seorang pria renta termangu pada kursi panjang di siang yang terik diawal bulan September 2021. Sembari menyisip kretek ke sela bibirnya, diusianya yang nyaris seabad. Kardi (nama samaran) mencoba mengorek kembali ingatan, bagaimana ia dituduh simpatisan PKI.
Hingga membuatnya dipenjara belasan tahun karena dituduh PKI, tanpa mengetahui secara pasti apa dosanya.
"Umur saya ya mungkin 100 tahun, kalau kurang ya sedikit. Kalau lebih ya sedikit," ujar kakek asal Kabupaten Pati itu, sambil memainkan batang kretek di tangan kirinya.
Meski tidak tahu persis usianya, Kardi masih sangat ingat betul peristiwa di awal tahun 1966, beberapa bulan setelah G30SPKI pecah. Yang merubah hidup dan membuatnya tak nyenyak tidur di penghujung usia.
Baca Juga:Kisah Kelam G30S PKI di Sumut, Prahara Politik Berujung Pembantaian Massal
Waktu itu, Kardi harus rela dibawa sejumlah tentara. Warga di salah satu desa di lereng Pegunungan Muria itu pun tak tahu penyebab dirinya dicokok orang-orang berseragam.
Di malam yang mencekam di Pati bagian Utara, tak hanya Kardi yang digelandang.
Namun puluhan pemuda lain, yang ia kenal sebagian. Mereka kemudian dibawa ke Koramil di wilayah tersebut.
Kardi muda berprofesi seperti kebanyakan orang lain di desanya, petani padi dan kopi.
Memang di daerahnya saat itu, ia dikenal sebagai pemuda yang aktif bersuara mengkritik kebijakan timpang di desa.
Baca Juga:Isu PKI Digoreng Gatot Nurmantyo Kembali, Eks Pangkostrad Angkat Bicara
Kepala Desa (Kades) pun acap kali menjadi sasaran kritiknya. Penggundulan hutan yang dibiarkan pemerintah desa setempat membuatnya sering bersuara. Lantaran tidak mau anak cucunya diwarisi lingkungan yang rusak.
Kardi menduga, aktivitasnya inilah yang membuat ia diangkut tentara bersama beberapa kawannya.
Menjadi daftar orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan atau anggota PKI. Padahal Kardi sendiri mengaku tak suka dengan partai politik itu.
"Mungkin itu. Petinggi (kepala desa) memasukkanku ke daftar. Kan petinggi diwajibkan menyetor nama-nama (anggota/simpatisan PKI) ke tentara. Ada sekitar 25 orang yang dibawa dari desa, termasuk saya. Itu satu desa ini," ungkapnya.
Imbasnya, Kardi terpaksa meninggalkan keluarganya. Seorang istri dan empat anaknya yang saat itu masih butuh perhatiannya.
Bayangkan, anak tertua saja baru berumur 7 tahun. Tak pernah terbayang dalam benak Kardi dipaksa menelantarkan keluargnya tanpa nafkah.
Sementara dirinya mendekam dalam penjara atas dosa orang lain yang tidak pernah ia lakukan.
Ia digelandang ke Koramil. Di sana ada ratusan warga lainnya dari satu kecamatan. Ia diinterogas, disiksa dan dipenjara berbulan-bulan. Tanpa proses peradilan.
Kardi diinterogasi, ditanya terkait aktivitasnya, apakah terlibat dengan PKI atau tidak.
"Sekitar setengah tahun saya dipenjara di koramil. Ada banyak gedung di sana. Sekitar empat barak tentara. Sekarang (gedungnya) sudah jadi bangunan lainnya," kata Kardi.
Setelah berbulan-bulan, ia dipindahkan ke Kodim Pati. Ia tak tahu pasti berapa jumlah orang yang benasib sama dengannya.
"Cukup banyak. Ribuan orang," ucapnya.
Selepas dari situ, ia lalu dipisahkan ke Pulau Nusakambangan hingga 'dibuang' di Pulau Buru.
Setiap tempat itu tak jauh beda perlakuan tentara kepadanya. Ia mengalami penyiksaan yang bertubi-tubi.
Dipukul dengan rotan, ditendang hingga dilempar pistol. Hampir menjadi makanan kesehariannya saat menjadi tahanan politik (tapol) .
"Di Jawa, di Pulau Buru ya sudah kenyang disiksa," kata dia.
Di pulau Buru, ia mengaku sempat bertemu banyak tokoh, macam Pramoedya Ananta Toer dan berbagai tokoh lainya.
Ada ribuan yang dipenjara. Ia tak tahu berapa jumlah pasti yang dipenjara di sana dengannya. Yang jelas ada 21 asrama.
"Paling sedikit 500 orang. Paling banyak 3.000 orang setiap asramanya," katanya.
Selain disiksa, ia dan tahanan yang lainnya diwajibkan menggarap sawah. Tentunya tanpa bagi hasil atau upah. Semua hasil panen dirampas tentara.
Banyak insiden yang membuatnya putus asa hidup di pulau ini. Ratusan orang tahanan tewas di pulau karena penyiksaan, kelaparan, sakit ataupun bunuh diri akibat tekanan mental.
Ia sempat pasrah. Kardi sudah menganggap hidupnya sudah tamat. Hingga akhirnya di tahun 1978, ia dibebaskan dari Pulau Buru.
Ia pulang ke rumah. Melihat anak-anaknya yang sudah dewasa dan sebagian sudah berkeluarga.
Meskipun 12 tahun dipenjara, ia bersyukur masih diberi kesempatan hidup. Dibandingkan ribuan orang tak bernama lainnya yang dibunuh tanpa peradilan. Tanpa keadilan.
"Kalau dendam tidak. Tapi yang aku sayangkan tidak bisa melihat anak-anakku tumbuh," tandasnya.
Kontributor : Fadil AM