Ancaman Tsunami di Pesisir Pantai Selatan, Ini Saksi Hidup Ganasnya Air Laut di Cilacap

Peristiwa Tsunami di Cilacap sangat membekas bagi warga sekitar pantai selatan, kini ancaman bencana itu kembali datang

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 08 Oktober 2021 | 18:24 WIB
Ancaman Tsunami di Pesisir Pantai Selatan, Ini Saksi Hidup Ganasnya Air Laut di Cilacap
Seorang nelayan menarik jaring ikan dari tepian Pantai Widarapayung, Kabupaten Cilacap, Kamis (7/10/2021). [Suara.com/Anang Firmansyah]

SuaraJawaTengah.id - Marwiyah (55) pedagang di Pantai Widarapayung, Kabupaten Cilacap, menjadi korban selamat pada peristiwa Tsunami.  Kala itu, selepas azan ashar, Senin 17 Juli 2006, tengah berdagang seperti biasanya.

Memang pada hari kerja, jumlah wisatawan yang berkunjung tidak seramai saat akhir pekan. Namun dirinya tetap berjualan demi kebutuhan rumah tangga. Waktu itu, ia menjadi satu-satunya warung yang berjualan. Sebelah warungnya entah keperluan apa, memilih tutup.

Ia tidak mungkin melupakan kejadian pada sore itu, bukan pembeli yang diharapnya datang, malah air bah tsunami setinggi atap warungnya yang menyapu rata bangunan semi permanen seisinya.

Gempa dengan kekuatan 6,8 SR di lepas Pantai Pangandaran menjadi penyebabnya. 

Baca Juga:Usai Laga PSCS vs AHHA PS Pati, Fasilitas Ruang Ganti Stadion Manahan Diduga Dirusak

Meskipun tergolong besar, Marwiyah mengaku tidak merasakan gempa tersebut. Oleh sebabnya, ia tidak mengungsi ke tempat yang lebih tinggi setelah gempa mengguncang.

"Kejadian begitu cepat. Saya tidak sempat menyelamatkan apa-apa. Dagangan, uang, harta saya yang ada di warung hanyut semua," katanya saat ditemui Suara.com, Kamis (7/10/2021).

Ia tak menyangka berhasil selamat dalam kejadian itu. Air bah menyapu pesisir pantai sejauh 1 km an. Saat terseret dirinya berusaha meraih apapun yang ada untuk tetap bisa di atas permukaan air.

"Saya saat itu pegangan batang pohon kelapa. Dari situ saya hanya berharap air dapat segera surut. Hampir tidak menyangka saya bisa selamat. Karena teman saya ada dua orang yang saya kenal, meninggal dunia dan ditemukan di aliran Sungai Sawangan," jelasnya.

Beruntung dirinya hanya mengalami luka lecet biasa sehingga bisa berjalan pulang setelah air surut. Namun kondisi tubuhnya sudah compang-camping dipenuhi pasir bercampur lumpur. Bahkan ia sempat menyelamatkan dua orang anak yang mengambang di permukaan laut dengan kondisi masih hidup.

Baca Juga:Klubnya Atta Halilintar AHHA PS Pati Keok Lagi, Kali Ini Dipecundangi PSCS Cilacap

"Itu anak saya seret di atas air. Kondisinya masih hidup, tapi saya tinggalkan di tempat yang lebih aman. Karena setelah itu, anak saya menjemput menggunakan motor di gerbang pintu masuk. Begitu sampai rumah keluarga saya yang lain sudah mengungsi. Saya disuruh langsung mengungsi tapi dengan kondisi yang kotor akhirnya saya mandi dulu," terangnya.

Ia terpisah dengan suami dan anaknya yang lain. Marwiyah mengungsi bersama anaknya yang menjemput setelah kejadian berlangsung. Malam itu, ia mengungsi di tempat seorang pelanggan yang biasa mampir ke warungnya jika berwisata ke Pantai Widarapayung. Rumahnya berada di Desa Pageralang, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas.

"Saya mengungsi disitu tiga hari. Tanpa membawa apapun, cuma bawa baju yang menempel di badan. Saya bahkan lupa membawa jilbab. Jadinya saya dipinjamin sama yang punya rumah. Sampai sekarang malah masih saya simpan buat kenang-kenangan," lanjutnya.

Trauma tentu saja masih menghantui Marwiyah beberapa tahun pasca bencana tsunami. Namun dirinya mencoba bangkit tiga bulan setelahnya. Bukan tanpa sebab, mata pencaharian satu-satunya hanya dari berdagang makanan di Pantai Widarapayung.

Tugu peringatan tsunami yang didirikan pemerintah daerah di Pantai Widarapayung, Kabupaten Cilacap, Kamis (7/10/2021). [Suara.com/Anang Firmansyah]
Tugu peringatan tsunami yang didirikan pemerintah daerah di Pantai Widarapayung, Kabupaten Cilacap, Kamis (7/10/2021). [Suara.com/Anang Firmansyah]

Pengalaman berbeda dialami Yanti (49), warga RT 04 RW 14, Kelurahan Tegalkamulyan, Kecamatan Cilacap Selatan. Pada saat peristiwa gempa dan tsunami, dirinya tengah hamil anak kedua dengan usia kandungan delapan bulan.

Dalam satu keluarga, tidak ada yang mengungsi pasca gempa besar. Pasalnya, ada salah satu anggota keluarga yang terbaring sakit dan tidak memungkinkan untuk mengungsi. Terlebih kondisi jalanan yang sudah semrawut karena banyaknya warga yang ingin mengungsi ke lokasi yang lebih aman.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini