Ruang Toleransi, Nyadran Lintas Agama di Desa Getas Temanggung Wujud Kerukunan Umat Buddha dan Islam

Warga Dusun Krecek mayoritas beragama Buddha sedangkan di Gletuk kebanyakan memeluk Islam, mereka membangun komunikasi sosial lintas agama

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 04 Maret 2022 | 11:03 WIB
Ruang Toleransi, Nyadran Lintas Agama di Desa Getas Temanggung Wujud Kerukunan Umat Buddha dan Islam
Nyadran lintas agama di Dusun Krecek dan Gletuk, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Bagi orang Jawa ruang sosial bisa dibangun dimana saja. Di sawah, di rumah, bahkan di kuburan. Seperti menjelang bulan Ramadan, nyadran menjadi tradisi yang tak bisa ditinggalkan. 

Masyarakat Dusun Krecek dan Gletuk di Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung secara umum berbeda keyakinan agama. Warga Dusun Krecek mayoritas beragama Buddha sedangkan di Gletuk kebanyakan memeluk Islam.

Meski begitu, warga kedua dusun memiliki leluhur yang sama. Mereka dimakamkan berbaur dalam satu kompleks pekuburan.  

Setahun sekali pada Jumat Pon di bulan Rojab, warga Krecek dan Gletuk bersepakat menggelar doa bersama untuk para leluhur.

Baca Juga:Brak! Truk kontainer Tabrak Bangunan Termasuk Showroom di Temanggung, 12 Motor Tergilas

“Bukan hanya yang beragama Buddha, yang Muslim pun melaksanakannya. Ini adalah tradisi yang mengandung nilai religius dan agamis. Ini tanpa diperintahpun semua masyarakat hadir dengan sendirinya,” kata Kepala Desa Getas, Dwi Yanto.

Dihadiri pemeluk agama yang berbeda-beda, acara pembacaan doa dilangsungkan secara bergantian oleh masing-masing pemuka agama.

Menurut Dwi Yanto acara ini sudah dilakukan warga Dusun Krecek dan Gletuk secara turun temurun. Setiap tahun, masyarakat sudah hafal kapan nyandran lintas agama bakal dilangsungkan.

“Masyarakat sudah menghitung harinya, tanggalnya, karena kita orang Jawa maka dikaitkan dengan hari pasaran. Spontan masyarakat bergerak. Tidak diumumkan melalui pengeras suara maupun perangkat desa.”

Persiapan acara melibatkan seluruh warga pennganut Buddha, Kristen, Islam dan Hindu. Mereka merasa punya tanggung jawab yang sama untuk melanjutkan tradisi nenek moyang.

Baca Juga:DPC Partai Gerindra Kabupaten Temanggung Laporkan Edy Mulyadi ke Polisi

“Terus dari seluruh unsur itu ada yang beragama Buddha, Kristen, Islam, semuanya juga bersama-sama. Dikatakan toleran karena dari makamnya saja itu kan semuanya bercampur. Islam, Kristen Buddha jadi satu,” kata Dwi Yanto.

Nyadran di Dusun Krecek dan Gletuk menjadi pembuka rangkaian tradisi serupa di 7 dusun lainnya: Porot, Banyu Urip, Cendono, Kemiri, Nglarangan, Getas, dan Pringapus.

Nyadran lintas agama di Dusun Krecek dan Gletuk, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]
Nyadran lintas agama di Dusun Krecek dan Gletuk, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

Akulturasi Jawa-Islam

Sejauh catatan sejarah yang diketahui, tradisi mengunjungi atau merawat makam leluhur sudah ada sejak zaman Majapahit. Raja Hayam Wuruk tercatat -sedikitnya- pernah melakukan 6 kali perjalanan keliling daerah kekuasaannya untuk menyambangi candi-candi yang dibangun para leluhur.

Tidak hanya menziarahi candi peninggalan leluhur, dalam perjalanan itu Hayam Wuruk juga menggelar ritual khusus bagi keluarga yang telah meninggal. Upacara ini dikenal sebagai sraddha atau upacara mengenang arwah.

Saat Islam masuk ke Nusantara, tradisi sraddha mengalami akulturasi budaya menjadi nyadran. Waktu pelaksanaannya dipilih di bulan Rojab atau Ruwah (Syaban).

Ruwah sendiri sering dikonotasikan oleh orang Jawa sebagai bulan ruh atau bulan arwah. Dalam Islam, bulan Rojab dan Syaban adalah bulan penting sebagai persiapan menghadapi Bulan Suci Ramadan.

Di beberapa daerah di Magelang-Temanggung terutama di kawasan lereng Merapi, Merbabu, dan Sumbing, perayaan nyadran bahkan lebih semarak dibandingkan Lebaran.

Panitian dusun mendata sanak keturunan yang leluhurnya dimakamkan di makam dusun. Utusan khusus akan dikirim untuk menyampaikan undangan nyadran secara lisan.

Keluarga yang tinggal jauh di perantauan dikabari dan diharapkan pulang saat nyadran.

Upacara nyadran biasanya dipusatkan di kompleks pemakaman dusun. Jika tempatnya tidak memungkinkan untuk menampung banyak orang, acara diadakan di halaman masjid atau mushola.

Nyadran di Dusun Krecek dan Gletuk digelar di jalan menuju makam dusun. Memikul tenong berisi aneka makanan, warga berjalan kaki sejauh 1 klometer menuju makam.

Di lokasi acara, tikarpun dihamparkan. Seluruh warga duduk sama rendah, berbaur tanpa membedakan derajat sosial dan perbedaan agama.

Tak lama berselang, tahlil yang dipimpim pemuka agama Islam mulai dibacakan. Setelah selesai giliran para biksu merapal doa, diikuti puji-pujian yang dibacakan tokoh Kristen.

“Yang Muslim nyadran, kita juga ada nyadran. Sama. Dengan demikian tidak ada pembeda, tidak ada penyekatnya. Kerukunan itu akan bisa terangkat. Mungkin bisa ditiru daerah-daerah lain yang belum bisa terangkat tradisinya atau merawat budaya,” kata Penyelenggara Buddha Kantor Kementerian Agama Kabupaten Temanggung, Suwardi.

Menurut Suwardi, nyadran lintas agama bertujuan mengangkat kearifan lokal. Bahwa di Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung, masyarakat berbeda agama bisa membaur melaksanakan adat tradisi bersama-sama.  

“Dalam kearifan lokal kita nggak ada pembeda dalam arti pembaurannya ke masayakarat keseluruhan. Baik Islam, Katolik, Hindu, Buddha, itu nggak ada pembeda. Toh leluhurnya sama.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini