SuaraJawaTengah.id - Kampung Bustaman sejak dulu sampai sekarang masih dijuluki sebagai "tukang jagal kambing". Dari tahun ke tahun, sudah tak banyak tukang jagal yang masih eksis di Kampung Bustaman.
Dalam tujuh tahun terakhir ini hanya tersisa dua orang yang masih menekuni profesi tersebut. Warga Bustaman lainnya memilih berpindah profesi.
Padahal jika berkaca sejarah, sekitar tahun 1970-1980an merupakan era kejayaan bagi tukang jagal di Kampung Bustaman. Hampir setiap harinya warga disibuklan dengan aktivitas memotong kambing hingga ratusan ekor.
Suatu ketika mereka pernah kebingungan daging kambing yang telah dipotong tidak dapat didistribusikan semua. Lalu tercetus ide seorang warga bikin olahan daging kambing jadi gulai.
Baca Juga:Sinergi Bersama Forkopimda, Mbak Ita Siap Amankan Arus Mudik di Kota Semarang
Dari situlah nama gulai kambing Bustaman melegenda sampai sekarang. Bahkan warung gulai Kota Semarang ramai mencatut nama "Buntaman" untuk menggaet para pembeli.
Berdasarkan keterangan RW setempat, Ashar menyebut mayoritas warga Bustaman masih didominasi wiraswasta sebesar 50 persen, karyawan swasta 30 persen dan sisanya Pegawai Negeri Sipil (PNS).
"Pedagangnya nggak hanya gulai atau kambing. Macam-macam pokoknya kayak jualan masakan, kue jadul dan lain-lainnya," kata Ashar saat ditemui Suara.com, Sabtu (4/11/2023).
Sejarah Gulai Bustaman sendiri, menurut Ashar berasal dari orang-orang Kudus yang mengajak orang Bustaman mengolah daging kambing jadi gulai. Bahkan di Kota Semarang makanan itu sudah eksis sedari tahun 1924.
"Setau saya pas dengar cerita dari nenek, sejarah gulai bustaman berawal ajakan orang Kudus. Bumbunya perpanduan tanpa santan. Tapi sejarah pasti gulai Bustaman sebatas itu karena mbah saya tidak gamblang menceritakannya," ungkapnya.
Baca Juga:Jadi Wanita Pertama yang Menjabat Wali Kota Semarang, Ini Profil Hevearita Gunaryanti
Menjaga Warisan Keluarga
Salah satu warga Bustaman yang masih jualan gulai kambing yaitu Hartono Bibit. Lelaki paruh baya itu telah berjualan gulai kambing selama 23 tahun meneruskan warisan keluarga yang sudah berjualan sedari 1968.
Saban hari, Bibit berjualan gulai kambing di sepanjang jalan MT. Haryono mulai pukul 10.00 WIB. Dikedainya itu terpampang sebuah tulisan "Gule Kambing Asli Bustaman Bu Qomariyah".
"Resepnya turun-temurun dari kakek, ciri khas (gulai kambing) Bustaman nggak pakai santan," ucap Bibit.
Sebelum mangkal di satu titik, Bibit menceritakan dulu kakeknya jualan gulai kambing menggunakan pikul. Lalu berkeliling mencari pelanggan ke sudut-sudut Kota Semarang.
"Keluarga kami memang dulu berprofesi tukang jagal. Saya jualan sampai sore, setelah itu gantian saudara lain jualan sate (kambing)," terangnya.
Memilih Berjualan Jajanan Tradisional
Berbeda dengan Bibit yang masih menjaga warisan keluarga. Romanah sudah tidak lagi berurusan dengan profesi tukang jagal maupun menjual olahan daging kambing.
Kurang lebih 10 tahunan belakangan ini, Romanah serta menantunya memilih berdagang dengan menjual jajanan tradisional dan aneka bubur.
"Wajik, gemblong, coro, lapis, ketan sirkaya, potong roti, kentang tetel, agar-agar gitu," ucapnya.
Sedari malam, Romanah sudah sibuk memproduksi aneka jajanan pasar tersebut. Ketika subuh, para bakul yang berjumlah 6 orang tinggal mengambil lalu diedarkan ke pasar-pasar terdekat.
"Paling banyak itu bikin 10 macam kue. Satu loyangnya bisa menghasilkan 45 potong kue. Kalau saya menjual ke bakul Rp2.500. Mereka (bakul) biasanya dijual lagi Rp3.000," imbuh Romanah.
Sedangkan menantu Romanah sendiri berjualan aneka bubur seperti bubur ketan hitam, bubur telo, bubur mutiara, bubur sumsum, bubur sago ambon dan lainnya mangkal di depan Apotek K-24 MT Haryono.
"Awalnya soal (resep) ya eksperimen dulu. Udah jualan sejak anak saya masih kecil sekarang usia 8 tahun," tandasnya.
Kontributor : Ikhsan