Hari-hari Terakhir Pahlawan Revolusi Pierre Tendean di Semarang Sebelum Jadi Korban G30S PKI

Pierre Tendean punya ikatan emosional dengan Kota Semarang. Meski lahir di Jakarta, saat remaja dia banyak menghabiskan waktu dan bersekolah d Kota Lunpia

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 10 November 2023 | 09:28 WIB
Hari-hari Terakhir Pahlawan Revolusi Pierre Tendean di Semarang Sebelum Jadi Korban G30S PKI
Foto terakhir ketika PIERRE ANDREAS TENDEAN menghadiri pernikahan adiknya, Rooswidiati Tendean, awal bulan Juli 1965 di Semarang atau dua bulan sebelum tragedi G30S/PKI terjadi. Dari kiri ke kanan: Pierre, Rooswidiati, Maria Elizabeth Cornet ibunda Pierre dan AL Tendean, ayah Pierre. [FB/Dok. Johanes Christiono]

SuaraJawaTengah.id - Seorang ajudan Jenderal A.H Nasution Pierre Tendean merupakan salah satu tokoh yang gugur dalam peristiwa G30S PKI. Sejak saat itu, dia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia sebagai penghargaan atas perjuangannya dalam peristiwa G30S PKI.

Untuk mengenang jasa-jasanya semasa hidup, kami akan mengulas hari-hari terakhir Pierre Tendean bertemu keluarganya di Semarang sebelum dua bulan kemudian jadi korban G30S PKI.

Mengutip postingan facebook pemerhati sejarah Johanes Cristiono. Pierre punya ikatan emosional dengan Kota Semarang. Meski lahir di Jakarta, saat remaja dia banyak menghabiskan waktu dan bersekolah d Kota Lunpia.

Diketahui sebelum masuk sekolah akademik milliter. Piera lulusan SMP dan SMA 1 Kota Semarang. Tempat tinggalnya dulu di Jalan Imam Bonjol.

Baca Juga:Sosok KH Ahmad Hanafiah, Anak Pendiri Ponpes Pertama di Lampung Jadi Pahlawan Nasional

Pada awal Juli 1965 saat sibuk-sibuknya menjadi ajudan Jenderal A.H Nasution. Pierre masih meluangkan waktu ke Semarang untuk menghadiri pesta pernikahannya adiknya. Dia mengambil cuti selama beberapa hari.

Sebagai seorang kakak, Pierre menitipkan sebuah pesan pada adik ipar agar menjaga adik perempuannya dengan baik. Selepas pesta pernikahan selesai, tepat pada tanggal 5 Juli 1965 Pierre berangkat kembali ke Jakarta. Pierre tak lupa berpamitan pada kedua orang tuanya.

Ibu Pierre sampai menjatuhkan air mata ketika hendak melepas putra satu-satunya yang akan berdinas lagi. "Pierre, lekas pulang ke rumah (lagi) ya, jika keadaan mengizinkan. Hati-hatilah anakku," tutur Maria Elizabeth Cornet, wanita Belanda blasteran Perancis, ibunda Pierre Tendean.

Sementara itu sang ayah sembari meletakkan tangan diatas bahu anaknya. Dia lalu mengatakan, "Pierre.... hati-hatilah, semoga Tuhan melindungimu,".

Lambaian Pierre di dalam mobil pagi itu saat bertolak ke Jakarta adalah hari terakhirnya bertemu dengan keluarganya di Kota Semarang. Dua bulan berikutnya Pierre diculik dan dibunuh dalam peristiwa G30S PKI. Jenazahnya dimasukkan ke dalam lubung sumur yang sekarang dikenal dengan sebutan lubang buaya.

Baca Juga:7 Rekomendasi Film Indonesia Bertema Pahlawan, Ada Kartini hingga Gie

Sementara itu, kakak Pierre Mitzi, memiliki kenangan terakhir dengan sang adik saat bertemu di Stasiun Gambir pada akhir Agustus 1965. Ketika ingin berpisah dan menciumi pipi adiknya. Mitzi merasakan rasa dingin yang menjalari pipi adiknya itu.

Berkat jasa-jasanya itu, nama Pierre Tendeaan kini diabadaikan jadi salah satu ruas jalan Kota Semarang. Sekarang jalan bernama Kapten Pierre Tandean itu sangat ramai dilalui pengendara karena lokasinya berada di jantung kota.

Kontributor : Ikhsan

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini