Skandal Beras Premium Oplosan Gegerkan Publik, Pedagang Pasar Muntilan Justru Tertawa: Kurang Laku!

Di tengah heboh skandal beras premium, Pasar Muntilan tetap stabil. Pedagang kecil fokus jual beras medium yang lebih laku dan menguntungkan, kebal terhadap gejolak pasar.

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 16 Juli 2025 | 13:19 WIB
Skandal Beras Premium Oplosan Gegerkan Publik, Pedagang Pasar Muntilan Justru Tertawa: Kurang Laku!
Agen besar beras di Pasar Muntilan [Suara.com/Angga Haksoro]

SuaraJawaTengah.id - Publik tengah dihebohkan oleh temuan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Satgas Pangan Polri terkait dugaan praktik curang pada 212 merek beras premium.

Namun, gelombang skandal yang menyeret nama-nama produsen raksasa itu seolah tak terasa di Pasar Muntilan, Magelang, di mana denyut ekonomi pedagang kecil tetap berjalan normal.

Para pedagang di pasar tradisional ini ternyata memiliki 'kekebalan' tersendiri terhadap gejolak beras premium. Alih-alih panik, mereka justru membuktikan bahwa model bisnis yang berfokus pada beras medium jauh lebih tangguh dan menguntungkan.

Salah seorang agen besar beras di Pasar Muntilan, Putri Tri Sulistiani, mengungkap rahasia di balik ketenangan pasar. Mayoritas pelanggannya bukanlah konsumen akhir dari kelas menengah atas yang mencari gengsi merek, melainkan para pedagang eceran yang akan menjualnya kembali di warung-warung kampung.

Baca Juga:Helm Jiplakan Pembalap MotoGP, Puaskan Gengsi Para Biker

Bagi mereka, perputaran barang yang cepat dan margin keuntungan yang jelas adalah segalanya. Sesuatu yang sulit didapat dari beras premium yang mahal dan lambat terjual.

“Kalau premium dari pabrik. Saya melayani orang-orang biasa yang mau dijual lagi di kampung,” kata Tri kepada SuaraJawaTengah.id, Rabu (16/7/2025).

Ia bahkan punya pengalaman langsung dengan salah satu merek yang kini terindikasi terlibat, yakni Sania dari Willmar Group. Beras seharga Rp78 ribu per 5 kilogram itu terbukti tak mampu memikat pasar lokal.

“Saya pernah jual beras merek Sania. Tapi sudah berapa lama tidak ada. Sudah sekitar satu bulan ini nggak dikirim. Kurang laku juga kalau untuk pasaran sini,” ungkapnya, membeberkan realita pasar.

Menurut Tri, fokus pada beras kelas medium adalah strategi bisnis yang lebih cerdas. Selain perputaran uang yang lebih kencang, selera konsumen lokal juga menjadi faktor penentu. Ternyata, tak semua orang suka beras yang terlalu 'sempurna'.

Baca Juga:Karir Jabatan Mentok, Pegawai PPPK Eks Yayasan Perguruan Tinggi Tidar Tuntut Diangkat PNS

“Malah ada pembeli yang tidak suka beras polesan. Warnannya terlalu putih, jadi katanya tindak nyantan,” kata Tri, merujuk pada istilah lokal untuk nasi yang tidak berasa gurih atau legit.

Kalkulasi ekonomi ini diamini oleh Supriyanto, seorang pedagang eceran dari Progowati, Muntilan. Ia secara rutin membeli beras dari agen Hj. Tri untuk dijual kembali di toko kelontong miliknya. Logikanya sederhana: keuntungan pasti dari produk yang pasti laku.

Supriyanto mencontohkan, ia membeli beras 10 kilogram seharga Rp140 ribu dan akan menjualnya kembali seharga Rp15 ribu per kilogram, memberinya profit Rp10 ribu.

“Saya untung Rp10 ribu untuk beras ukuran 10 kilogram. Saya lebih untung jualan beras yang biasa. Konsumennya sudah pada senang beras yang biasa,” ujarnya.

Fenomena di Pasar Muntilan ini menjadi antitesis dari skandal besar yang tengah diselidiki Kementan dan Satgas Pangan. Di saat produsen besar seperti Willmar Group (Sania, Fortune), PT Food Station Tjipinang Jaya (Sentra Ramos), PT Buyung Poetra Sembada (Topi Koki), hingga Japfa Group (Ayana) terindikasi menjual beras medium sebagai premium, pedagang kecil justru jujur pada segmen pasarnya dan tetap meraup untung.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini