Netizen lain turut memberikan pesan edukatif secara halus, berharap anak tersebut tidak mengulangi kesalahan serupa di masa depan.
“Jangan diulangi ya dek,” tulisnya.
Ada juga komentar yang menyinggung cara warga menegur anak tersebut, sambil mengingatkan agar tetap memperlakukan anak itu dengan lembut.
“Tapi ojo mbok seneni yo pak,” tulisnya dalam bahasa Jawa.
Beberapa netizen mengungkapkan kebingungan mereka saat menghadapi kasus seperti ini. Menurut mereka, situasi ini sulit ditangani karena posisinya berada di antara salah dan kasihan.
“Serba bingung yaa klo ngadepin kayak gini antara kasihan tapi juga tidak dibenarkan...”
Yang menarik, seorang netizen mencatat bahwa meskipun dalam posisi sebagai pelaku, anak itu tetap berbicara dengan sopan.
“Adeknya ngomongnya alus lho, guys. Pakai bahasa kromo walau belepotan,” tulisnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa dalam menangani tindakan menyimpang, apalagi yang dilakukan oleh anak-anak, pendekatan kemanusiaan dan pembinaan seringkali lebih bijak daripada penghukuman.
Baca Juga:Es Krimnya Jatuh, Sikap Anak Ridwan Kamil Arkana Tuai Pujian: Waw Pintarnya, Dia Nggak Nangis
Keputusan warga dan korban yang memilih damai dan membawa anak itu kembali ke rumah orang tuanya menunjukkan bahwa empati masih menjadi nilai hidup di tengah masyarakat.
Peristiwa ini menyentil kesadaran kolektif masyarakat soal pentingnya perlindungan bagi anak-anak dalam kondisi rentan. Anak yang tumbuh di lingkungan miskin dan tanpa pendampingan yang memadai berisiko melakukan tindakan menyimpang bukan karena niat jahat, tapi karena minimnya pemahaman dan arahan.
Kisah ini menjadi contoh bahwa tidak semua pelanggaran harus berakhir di jalur hukum. Dalam kondisi tertentu, keadilan bisa hadir lewat pendekatan empatik dan pembinaan.
Tindakan warga dan korban dalam kasus ini patut diapresiasi karena memilih jalan damai, sambil tetap memberi pelajaran berharga bagi sang anak.
Kontributor : Dinar Oktarini