- Tempe lahir dari budaya Jawa abad ke-17, awalnya dibuat dari kedelai hitam dan fermentasi alami.
- Pernah jadi penyelamat rakyat di masa kolonial, hingga diteliti ilmuwan dan diakui dunia.
- Dari tragedi tempe bongkrek hingga jadi superfood global, tempe simbol inovasi dan ketahanan.
SuaraJawaTengah.id - Siapa sangka makanan sederhana bernama tempe menyimpan kisah panjang yang penuh intrik, tragedi, dan kejayaan? Dari dapur desa di Jawa hingga meja makan dunia, perjalanan tempe bukan sekadar kisah kuliner, tapi juga sejarah sosial dan ilmiah yang luar biasa.
Sebagaimana dikutip dari YouTube Sejarah On A Plate, inilah tujuh fakta paling menarik tentang sejarah gelap dan hebat tempe yang jarang diketahui banyak orang.
1. Asal Usul Tempe Sudah Ada Sejak Abad ke-17
Kata “tempe” pertama kali ditemukan dalam naskah Serat Centhini, karya sastra Jawa yang ditulis sekitar tahun 1814. Dalam salah satu bagiannya, tokoh bernama Mas Cebolang berkunjung ke dusun Tembayang, Klaten, dan dijamu dengan lauk berisi santan, jahe, dan tempe.
Baca Juga:8 Barang Wajib untuk Memulai Warung Kelontong dengan Modal Rp2 Juta
Artinya, masyarakat Jawa sudah mengenal tempe sejak abad ke-17, jauh sebelum naskah itu ditulis. Bahkan, tempe saat itu dianggap makanan yang pantas disajikan untuk tamu penting, bukan sekadar lauk sederhana rakyat kecil.
2. Nama “Tempe” Berasal dari Makanan Kuno Bernama “Tumpi”
Para ahli bahasa meyakini nama tempe berasal dari kata Jawa Kuno tumpi, yaitu makanan putih tipis dari tepung yang dikukus. Karena bentuk dan warnanya mirip, masyarakat memberi nama makanan fermentasi dari kedelai ini dengan sebutan tempe.
Jadi, istilah “tempe” bukan pinjaman dari bahasa asing seperti yang sering dikira. Ia benar-benar lahir dari tradisi kuliner dan bahasa lokal Jawa yang terus bertahan hingga kini.
3. Awalnya Dibuat dari Kedelai Hitam dan Daun Jati
Baca Juga:5 Ide Bisnis Ibu Rumah Tangga yang Punya Bayi: Cari Cuan Sambil Momong
Tempe zaman dahulu tidak dibuat dari kedelai kuning seperti sekarang. Bahan utamanya adalah kedelai hitam lokal yang lebih kecil dan berwarna gelap. Proses fermentasi dilakukan tanpa alat laboratorium, tanpa termometer, dan tanpa ragi buatan.
Masyarakat cukup membungkus kedelai dengan daun jati, daun waru, atau daun pisang, karena di permukaan daun-daun itu terdapat mikroorganisme alami seperti Rhizopus oligosporus yang berfungsi sebagai jamur tempe.
Hasilnya, tempe tradisional sudah padat, harum, dan aman dikonsumsi dalam waktu satu hingga dua hari. Bukti nyata bahwa nenek moyang kita sudah menguasai teknik fermentasi alami jauh sebelum istilah “probiotik” ditemukan.
4. Tempe Jadi Pangan Rakyat di Masa Penindasan Kolonial
Pada masa tanam paksa di abad ke-19, rakyat Hindia Belanda dipaksa menanam tebu, kopi, dan nila. Lahan pangan berkurang drastis, dan bahan makanan pokok menjadi langka. Di tengah tekanan itu, tempe menjadi penyelamat.
Tempe mudah dibuat, tidak membutuhkan alat mahal, dan bisa diolah dari sisa kedelai. Dengan fermentasi sederhana, makanan keras bisa berubah jadi lauk bergizi. Saat banyak rakyat kelaparan, tempe menjadi bukti kecerdikan dan ketahanan rakyat kecil dalam menghadapi sistem kolonial yang menindas.