Dokter Spesialis Keliling, Mengantar Harapan Pulih Hingga ke Desa

Keluarga Sukamah (ODGJ) hadapi stigma & kendala akses dokter spesialis. Program Speling Jateng bawa dokter keliling bantu deteksi & obati warga pelosok.

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 21 November 2025 | 08:52 WIB
Dokter Spesialis Keliling, Mengantar Harapan Pulih Hingga ke Desa
Selain pemeriksaan dokter spesialis, Program Speling juga melayani pemeriksaan kesehatan gratis. (Suara.com/ Angga Haksoro A).
Baca 10 detik
  • Sukamah didiagnosis menderita skizofrenia hebefrenik berat, menyoroti beban sosial dan kesulitan akses layanan spesialis bagi penderita gangguan jiwa di daerah.
  • Program Dokter Spesialis Keliling (Speling) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bertujuan mengatasi kendala jarak ke fasilitas kesehatan spesialis di desa pelosok.
  • Program Speling telah menjangkau ratusan desa, berhasil mendeteksi dini berbagai penyakit, termasuk menekan angka kematian ibu dan penemuan kasus TBC.

SuaraJawaTengah.id - Beberapa kali Sukamah menoleh ke arah pintu keluar Gedung Serba Guna Desa Sumurarum, Grabag. Lalu-lalang orang membuatnya gelisah.  

Di sebelahnya, Wira anak nomer dua Sukamah, meladeni beberapa pertanyaan dari petugas puskesmas. Seputar keluhan dan gejala sakit yang diderita ibunya.       

“Sejak saya kecil ibu sudah begini. Sejak saya lahir mungkin,” kata Wira yang sekarang pindah duduk ke deretan kursi tunggu.

Sukamah didiagnosa menderita skizofrenia hebefrenik, salah satu gangguan kejiwaan kategori berat. Penderita biasanya mengalami halusinasi, delusi, dan gangguan berpikir.

Baca Juga:Puncak Musim Hujan Diperkirakan Sampai Desember, Ahmad Luthfi Minta Bupati dan Walikota Siaga Penuh

Skizofrenia bisa sangat mempengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi penderitanya. Akibat distorsi realitas, dalam keseharian penderita skizofrenia sangat bergantung pada bantuan orang lain.

Hingga kini belum ditemukan penyebab klinis skizofrenia yang pasti. Banyak ahli berpendapat, kondisi ini muncul karena komplikasi faktor genetik, lingkungan, gangguan keseimbangan senyawa kimia dalam otak, dan pengalaman traumatis berat.

“Orang-orang bilang ibu saya begini karena dulu sering dipukuli bapak atau apalah gitu. Saya sendiri nggak tahu. Bapak juga nggak pernah cerita.”

Mengurai Beban Sosial

Dokter spesialis kedokteran jiwa memberikan layanan untuk pasien ODGJ. (Suara.com/ Angga Haksoro A).
Dokter spesialis kedokteran jiwa memberikan layanan untuk pasien ODGJ. (Suara.com/ Angga Haksoro A).

Sukamah dan Wira bukan nama sebenarnya. Identitas mereka perlu dilindungi karena menyebut nama pasien gangguan jiwa di tengah masyarakat kita, bisa serupa menguar aib.

Baca Juga:Sekarang Tinggal Chat Whatsapp, Bright Gas Langsung Datang Ke Rumah

Meski tampak tegar, nada bicara Wira terdengar berat menceritakan kondisi kesehatan ibunya. Edukasi soal ODGJ sebenarnya sudah sering disampaikan petugas kesehatan, tapi persepsi masyarakat tidak serta merta berubah.

Di banyak tempat, mereka masih disederhanakan sebagai “orang gila”. Istilah yang masih menyakitkan hingga kini.    

“Para tetangga kalau ada orang sakit kejiwaan kan sering dihina. Kena bully. Memang kenyataannya ibu saya sakit. Saya hanya berharap ibu bisa sembuh jadi kami tidak dihina lagi,” kata Wira lirih.

Selain beban sosial, keluarga pasien ODGJ juga harus menanggung rasa khawatir terus menerus. Sukamah misalnya pernah pergi diam-diam dari rumah sehingga membuat keluarga kalang kabut.

Wira yang sempat bekerja menjadi buruh perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, terpaksa pulang kampung untuk merawat ibunya. Hingga kini diusia menginjak 24 tahun, Wira belum terpikir rencana menikah. 

Keluarga beberapa kali membawa Sukamah berobat ke dokter atau rumah sakit. Tapi jarak rumah mereka yang jauh dari pusat pengobatan, membuat terapi tidak bisa dilakukan secara rutin.

Jauh dari Rumah Sakit

Warga lansia antre mendapat layanan dokter spesialis penyakit dalam. (Suara.com/ Angga Haksoro A).
Warga lansia antre mendapat layanan dokter spesialis penyakit dalam. (Suara.com/ Angga Haksoro A).

Di puskesmas terdekat tidak tersedia layanan dokter spesialis kedokteran jiwa. Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof Dr Soerojo Magelang, berjarak 13 kilometer dari Grabag.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Muntilan lebih jauh lagi sekitar 23 kilometer. Layanan dokter jiwa terdekat hanya di RS Syubbanul Wathon, Tegalrejo yang berjarak 11 kilometer dari rumah Sukamah.

Bagi para pasien penyakit khusus yang tinggal di pelosok, kendala jarak  menjadi masalah utama untuk mendapatkan layanan dokter spesialis. Di puskesmas biasanya hanya bertugas dokter umum dan dokter gigi.  

Belum adanya dokter spesialis di puskesmas juga menyebabkan deteksi penyakit khusus sering diketahui terlambat. Pasien baru tertangani dokter spesialis setelah telanjur sakit parah.

“Program Gubernur Jawa Tengah, bapak Ahmad Luthfi mendatangkan dokter spesialis keliling ke desa-desa. Agar masyarakat yang selama ini belum pernah diperiksa dokter spesialis, bisa bertemu. Harapannya bisa mendeteksi dini mereka yang sakit,” kata Kepala Puskesmas Grabag 1, drg Rury Suryani.

Intensif Menjaring Pasien

Dokter Spesialis Keliling (Speling) merupakan salah satu Program Luthfi-Yasin Ngopeni Nglakoni Jateng. Sebagai bentuk komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberikan layanan kesehatan yang memadai bagi seluruh masyarakat.     

Bentuk layanannya berupa pemeriksaan dokter spesialis, ditambah skrining kesehatan yang semuanya gratis. Pasien yang terdiagnosa perlu mendapat perawatan intensif, dapat dirujuk langsung ke rumah sakit.

Pada periode pertama 1 tahun pelaksanaan program, Maret 2025 hingga 2026, Program Speling menyasar 1.278 desa pelosok di Jawa Tengah. Hingga Oktober 2025 sebanyak 582 desa sudah tersambangi dokter spesialis.

Jumlah penerima manfaat mencapai 63.600 orang, belum termasuk peserta cek kesehatan gratis yang mencapai 9,2 juta jiwa.

Kehadiran dokter spesialis obstetri dan ginekologi pada Program Speling berhasil menekan jumlah angka kematian ibu (AKI), dari 320  kasus pada September 2024 menjadi 245 kasus pada September tahun ini.

Dukungan perangkat USG membantu dokter menemukan gejala kelainan pada masa hamil dan persalinan, serta mendeteksi dini adanya masalah kesehatan organ reproduksi wanita.         

Program Speling juga mengintensifkan penemuan kasus TBC yang selama ini tersuruk dari permukaan. Padahal dari sekian banyak penyakit menular yang mematikan, WHO menempatkan tuberkulosis berada di peringkat pertama.

Salah satunya melalui Program Speling, Jawa Tengah menargetkan penemuan 107 ribu kasus TBC tahun ini. Hingga Oktober 2025, sebanyak 61 persen kasus sudah ditemukan melalui pemeriksaan aktif di lapangan.

Pada pelaksanaan Program Speling di Desa Sumurarum, Kecamatan Grabag, sebanyak 72 orang menerima pelayanan kesehatan. Terdiri dari 40 orang usia produktif dan 32 orang lansia.

Pelayanan dokter spesialis paru mendiagnosis 7 pasien harus menjalani rujukan. Dua diantaranya harus menjalani tes cepat molekuler yang dapat mendeteksi tuberkulosis secara akurat.  

Pemeriksaan dokter spesialis obstetri dan ginekologi menemukan 4 pasien harus menjalani perawatan rujukan ke rumah sakit. Dua diantaranya menderita luka pada rahim akibat operasi sesar dan perdarahan yang tidak normal pada vagina.

Mendekatkan Harapan

Menurut Kepala Puskesmas Grabag 1, drg Rury Suryani, pada pelaksanaan Program Speling di desa lainnya ditemukan pasien penderita tumor yang tidak pernah terdeteksi sebelumnya.

“Harapan kami kedepan mungkin dari Dinas Kesehatan Provinsi Jateng bisa diperbanyak alat kesehatan X-ray karena kami merasa sangat bermanfaat. Banyak sekali yang awalnya tidak ketahuan TBC. Bahkan ada yang sakit tumor ternyata ketemu.”

Kepala Desa Sumurarum, Puji Ardoyo mengakui program Speling sangat membantu warganya. Masyarakat bisa mendapatkan pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari dokter spesialis.

“Kami berterima kasih sekali. Kadang masyarakat sulit untuk berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Adanya Speling ini mereka bisa langsung diantar oleh pihak keluarga ke desa. Kantor desa kan letaknya dekat dari lingkungan masyarakat. Jadi bisa mendekatkan pasien.”

Dari ujung deretan kursi tunggu pasien gangguan jiwa, Sukamah melepaskan pandangan kosong ke sekeliling ruangan. Sesekali dia tersenyum, tanpa dipahami apa maksudnya.

Di sebelahnya, Wira menggenggam harapan besar ibunya bisa sembuh. “Alhamdulillah kalau ibu bisa sembuh. Saya jadi nggak terlalu terbebani sama orang-orang sekitar. Biar kami juga bisa menjalani hidup normal.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak