6 Langkah Politik Paku Buwono XIV Purboyo Menata Ulang Keraton Solo

Paku Buwono XIV segera konsolidasi kekuasaan: tetapkan struktur, rangkul senior, rotasi pejabat kunci, umumkan publik, tata ulang protokoler, dan siapkan arah kebijakan baru.

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 21 November 2025 | 09:09 WIB
6 Langkah Politik Paku Buwono XIV Purboyo Menata Ulang Keraton Solo
PB XIV Purboyo saat keluar dari dalam keraton. [Suara.com/Ari Welianto]
Baca 10 detik
  • Paku Buwono XIV segera menetapkan struktur bebadan lengkap keraton sebagai langkah awal melegitimasi kekuasaan barunya.
  • Raja baru melakukan konsolidasi internal intensif dan menempatkan figur kepercayaan pada jabatan strategis penting.
  • Pengumuman resmi struktur kepada publik dilakukan untuk menunjukkan transparansi arah kepemimpinan keraton terkini.

SuaraJawaTengah.id - Pengangkatan KGPAA Hangabei Purboyo sebagai Paku Buwono XIV menjadi salah satu momentum politik-budaya paling signifikan dalam sejarah terbaru Keraton Kasunanan Surakarta.

Hanya dalam empat hari setelah penetapan diri sebagai raja baru, ia merilis keputusan-keputusan strategis yang langsung mengubah peta kekuasaan internal.

Banyak pihak melihat manuver cepat ini sebagai upaya konsolidasi, stabilisasi, sekaligus modernisasi tata kelola keraton yang selama ini berada dalam dinamika panjang.

Sebagaimana dikutip dari YouTube dan sumber lainnya berikut adalah enam langkah politik paling menentukan yang dilakukan Paku Buwono XIV dalam menata ulang Keraton Solo.

Baca Juga:Menelisik Silsilah PB XIII dan Perebutan Takhta Keraton Solo: Siapa Paling Layak?

1. Penetapan Struktur Bebadan Keraton sebagai Langkah Legitimasi Awal

Keputusan paling mendasar sekaligus paling strategis adalah penetapan daftar lengkap bebadan Keraton Kasunanan Surakarta. Struktur bebadan ini mencakup posisi pejabat adat, abdi dalem setingkat pengageng, hingga penanggung jawab bidang administrasi dan protokoler.

Langkah ini tidak sekadar seremoni administratif. Dalam tradisi keraton, susunan bebadan adalah representasi resmi kekuasaan raja.

Dengan menandatangani susunan struktur hanya beberapa hari setelah naik tahta, Paku Buwono XIV mengirim pesan tegas bahwa keraton kini berada di bawah arah komando yang jelas, tertib, dan tidak gamang.

Penetapan ini sekaligus mengakhiri masa kekosongan posisi kunci yang sebelumnya memunculkan tarik ulur kewenangan di internal keraton.

Baca Juga:9 Babak yang Mengurai Konflik Suksesi Keraton Kasunanan Surakarta Setelah Wafatnya PB XIII

2. Konsolidasi Politik dengan Abdi Dalem dan Tokoh Senior

Sebagai raja baru, Paku Buwono XIV membutuhkan penerimaan dari internal, terutama para penanggung jawab budaya yang selama ini menjaga kesinambungan keraton.

Konsolidasi dilakukan melalui pertemuan-pertemuan intensif dengan para pengageng, sentana dalem, hingga tokoh penasehat tradisi.

Konsolidasi ini tidak hanya bertujuan membangun kesetiaan, tetapi juga menegaskan kembali tata hubungan antara raja dan para pejabat adat. Dengan merangkul kelompok senior, Paku Buwono XIV mengamankan dukungan politik inti sehingga manuver berikutnya dapat berjalan tanpa resistensi signifikan.

Dalam sejarah keraton Jawa, konsolidasi semacam ini adalah ritual politik yang menentukan. Raja kuat selalu ditopang oleh barisan abdi dalem yang solid.

3. Penempatan Figur Kepercayaan di Jabatan Strategis

Langkah politik yang paling terlihat adalah reposisi orang-orang kunci. Penyusunan ulang pejabat penting seperti Pengageng Sasana Wilapa, Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Lungguhing Bale Mangungkung, Sasana Panti Marhenan, hingga pejabat protokoler menunjukkan bahwa Paku Buwono XIV membangun lingkaran inti yang loyal.

Penempatan figur kepercayaan merupakan praktik politik klasik untuk menjaga stabilitas. Dalam konteks keraton, loyalitas memiliki bobot yang sama penting dengan kompetensi. Dengan memilih sosok-sosok yang reputasinya kuat, kepemimpinan baru mencegah terjadinya dualisme komando dan potensi konflik internal.

Reposisi ini juga mencerminkan niat raja untuk meremajakan sebagian struktur agar lebih responsif menghadapi kebutuhan keraton di era modern.

4. Pengumuman Publik sebagai Simbol Transparansi Kekuasaan

Tidak seperti praktik lama yang sering berjalan tertutup, Paku Buwono XIV merilis pengumuman resmi berisi daftar lengkap bebadan kepada publik. Langkah ini memiliki efek ganda: memperlihatkan legitimasi dan menegaskan arah baru kepemimpinan yang lebih terbuka terhadap masyarakat.

Pengumuman publik menjadi pesan simbolik bahwa keraton bukan sekadar institusi budaya yang hidup di ruang privat, tetapi juga lembaga publik yang memiliki peran sosial dan historis. Publik kini mengetahui siapa yang memegang jabatan apa, sehingga legitimasi tidak lagi berada di ruang abu-abu.

Selain itu, transparansi ini memperkuat kepercayaan eksternal terhadap keraton, khususnya dari kalangan pemerintahan, budayawan, dan masyarakat adat.

5. Penataan Ulang Protokoler dan Administrasi Keraton

Setelah struktur formal diumumkan, langkah berikutnya adalah menertibkan tata administrasi internal. Keraton memiliki tradisi protokoler yang ketat, mulai dari urutan gelar, tata upacara, pakaian resmi, hingga kehadiran pejabat dalam ritual adat.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi beberapa disharmoni terkait protokoler yang menyebabkan perbedaan tafsir antara kelompok internal. Paku Buwono XIV bergerak cepat untuk mengakhiri ambiguitas tersebut. Dengan merapikan kembali sistem administrasi dan protokoler, keraton kini memiliki pedoman yang lebih presisi dan tidak memicu perbedaan persepsi.

Penataan ini penting agar keraton mampu menjalankan fungsi budaya secara konsisten, terutama pada upacara besar seperti Tingalan Jumenengan, Sekaten, dan wilujengan kerajaan.

6. Menyiapkan Arah Kebijakan Keraton untuk Periode Mendatang

Manuver terakhir tidak selalu terlihat secara langsung, namun dapat dibaca dari pola keputusan yang diambil. Paku Buwono XIV tampaknya menyiapkan arah baru kepemimpinan dengan tiga fokus utama.

Pertama, merapikan tata kelola internal agar keraton lebih siap menghadapi tantangan modern. Kedua, menguatkan peran budaya keraton sebagai pusat identitas Jawa di Surakarta. Ketiga, membangun relasi yang lebih konstruktif dengan pemerintah daerah, akademisi, dan komunitas budaya.

Kebijakan ini mencerminkan visi jangka panjang, yaitu menjadikan Keraton Solo tidak hanya sebagai simbol sejarah, tetapi sebagai institusi budaya yang relevan, terorganisir, dan terbuka.

Kontributor : Dinar Oktarini

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak