Pebriansyah Ariefana
Kamis, 27 Juni 2019 | 14:06 WIB
Ilustrasi radikalisme. [Shutterstock]

"Seperti keberadaan organisasi KAMMI berada di luar struktur organisasi kemahasiswaan kampus. Jika mengadakan kegiatan di UNNES harus mengurus izin sehingga kami mengetahui konten kegiatan mereka. Ini juga berlaku bagi organisasi luar kampus lainnya," ujarnya.

Unnes juga mengaku tidak memiliki hak untuk mencekal organisasi tempat berkumpulnya massa, termasuk pada tiga kelompok Islam eksklusif trans nasional, karena menjadi hak demokrasi warga.

"Tapi jika nantinya sangat meresahkan maka kami akan berkoordinasi dengan pihak yang berwajib untuk memberikan rekomendasi," tukasnya.

Handi Pratama Ketua Tim Sinergi Reputasi Digital UNNES mengaku sampai saat ini juga belum menemukan jejak digital paham radikalisme sosmed warga Unnes.

"Jika ada konten yang mengandung potensi ektrimisme dan radikalisme akan diproses dan pengunggahnya akan dibina," kata Hendi, saat dikonfirmasi, Kamis (27/6/2019).

Melalui SK Rektor Unnes Nomor 3630/UN37/TU/2018 tentang Pencegahan Radikalisme, dalam sistem kerjanya, Tim nya melakukan pendataan akun medsos seluruh civitas akademika di Unnes.

"Ini bukan tindakan intimidatif atau represif, tapi penerapan fungsi pembinaan," katanya.

Sebelumnya, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta menemukan bahwa ada kelompok Islam eksklusif trans nasional di delapan Perguruan Tinggi Negeri. Pergerakan ini dikhawatirkan bisa menumbuhkan radikalisme di kalangan mahasiswa.

Peneliti LPPM UNUSIA Naeni Amanulloh menyebut delapan kampus tersebut ialah UNS Surakarta, IAIN Surakarta, UNDIP Semarang, UNNES Semarang, UGM Yogyakarta, UNY Yogyakarta, Unsoed Purwokerto, dan IAIN Purwokerto.

Baca Juga: UNY Diduga Terpapar Islam Radikal, Rektor: Saya Ragukan Penelitian Itu

Kontributor : Adam Iyasa

Load More