Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Jum'at, 23 Agustus 2019 | 02:40 WIB
Profesor Suteki Guru Besar FH Undip yang dibebastugaskan. [Suara.com/Adam Iyasa]

SuaraJawaTengah.id - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang Prof Suteki telah dilucuti semua jabatan fungsional yang melekat pada dirinya di kampus Undip Semarang. Hanya satu jabatan yang dia emban, dosen mata kuliah umum di Fakultas Hukum Undip.

Saat ditemui Suara.com di Gedung Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Undip, Kamis (22/8/2019), Suteki baru saja memberi mata perkuliahan pada mahasiswanya. Dia mengaku saat ini tidak dibolehkan untuk mengajar mata kuliah Pancasila.

"Ini sangat menohok saya, sebagai pengajar Pancasila malah dilarang mengajar. Banyak yang teriak-teriak mengaku Pancasila tapi saya disini adalah pengajar langsung filsafat Pancasila," katanya.

Sejak dibebastugaskan tetap sebagai Kaprodi Magister Ilmu Hukum, Kepala Senat Fakultas Hukum, dan Anggota Komisi Senat Universitas, keseharian Suteki di kampus hanya diberi kewenangan mengajar pada mahasiswa program S1 dan S2 saja. Untuk mahasiswa program S3 dia dilarang total.

Baca Juga: Undip Ngotot Cari Bukti Dugaan Prof Suteki Pro HTI

"Sudah dua tahun dilarang mengajar di S3, tidak diperkenankan menjadi promotor atau co-promotor mahasiswa," ucapnya.

Sementara untuk mengajar di program S1 dan S2, dia hanya boleh mengajar mata kuliah selain Pancasila, seperti mata kuliah ilmu hukum, sosiologi hukum, metodologi penelitian, dan lainnya.

Suteki mengaku setiap hari harus menanggung malu atas perlakuan institusinya yang 'menghakimi' dirinya sebagai orang yang anti pemerintahan dan anti-Pancasila.

Bahkan banyak dari rekannya menyarankan untuk tidak melakukan perlawanan atas hegemoni kekuasan kampus yang telah memberi sanksi administratif. Gugatan dirinya atas keputusan Rektor Undip diminta untuk tidak dilawan.

"Eggak (berhenti melawan), secara batin saya akan malu pada anak istri saya, cucu saya, saat nanti ketika saya dituduh anti Pancasila, anti pemerintah, sementara saya mengajar Pancasila dan filsafatnya selama 24 tahun," katanya.

Baca Juga: Dituding Pro HTI, Prof Suteki Jelaskan Asal Mula Khilafah

Persoalan tuduhan yang dihadapinya, Suteki juga merasa dirugikan lahiriah, secara tunjangan jabatan dia sudah tidak menikmati sejak dikeluarkan SK Nomor 586 pada November 2018 lalu. Hanya gaji sebagai dosen biasa yang diterima sekaligus tunjangan sertifikasi Guru Besar.

"Status dosen di Akpol dicabut, padahal Gubernur Akpol sendiri memeriksa saya dan hasilnya tidak terjadi saya anti Pancasila," katanya.

Akibat dari itu, berdampak pada status pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta yang langsung dibatalkan.

"Puluhan tahun saya mengajar, membimbing dan supervisi praktek lapangan di kepolisian. Dari mata kuliah PIH, metodologi penelitian, filsafat ilmu, sampai hukum progresif," katanya.

"Saya rasa-rasa kemana-mana isin (malu) di lingkungan sini (kampus) saya malu, di Akpol juga gak punya muka. Sudah tercemar nama saya," imbuhnya.

Termasuk hak dia berbicara atau mengekspresikan diri di muka umum sesuai dengan keahlian sebagai ahli hukum tata negara dan Pancasila telah tercabut secara otomatis.

"Mau gelar seminar atau jadi narasumber seminar sudah tidak bisa," katanya.

Di lingkungan tetangganya pun setali tiga uang, banyak warga yang menanyakan kenapa bisa terlibat dalam masalah sensitif anti Pancasila. Akibatnya, keluarga pun ikut menanggung malu.

"Istri saya nangis terus, anak saya saat masih kuliah juga syok, tapi Alhamdulilah percaya jika ayahnya sudah sesuai track yang benar," ucapnya.

Saat ini Suteki menjalani rutinitas sebagai dosen biasa, ruangan kerja yang dulu sebagai tempat dia mengabdi sudah kosong. Tumpukan buku-buku dan alat-alat kerja juga sudah tidak ada, hanya sebuah sofa yang akhirnya dijadikan ruang transit pada ruangan itu.

"Ruangan kita bicara ini sudah tidak difungsikan, semua barang saya sudah saya angkut, ini jadi tempat terima tamu. Ruangan saya bercampur dengan dosen ramai-ramai di Bagian Hukum dan Masyarakat di Tembalang," katanya.

Kontributor : Adam Iyasa

Load More