Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Kamis, 26 September 2019 | 21:01 WIB
Juru Bicara Masyarakat Sipil Anti-Oligarki Hariyadi. [Antara]

SuaraJawaTengah.id - Masyarakat Sipil Anti-Oligarki yang terdiri dari sejumlah akademisi, seniman, pengusaha, dan elemen masyarakat di Purwokerto, Jawa Tengah mengajukan petisi dalam menyikapi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Petisi ini kami ajukan untuk mengingatkan DPR dan Presiden bahwa pembaruan hukum mesti bersifat demokratis serta mengedepankan keberpihakan pada rakyat," kata Juru Bicara Masyarakat Sipil Anti-Oligarki, Hariyadi seperti dilansir Antara di Purwokerto pada Kamis (26/9/2019).

Haryadi menjelaskan, Masyarakat Sipil Anti-Oligarki memandang pengesahan UU KPK dan RKUHP merupakan ekspresi politik yang berwatak elitis-oligarkis dan represif-otoritarian.

Selain itu, UU KPK dengan sangat mencolok menegaskan sifat akomodatif terhadap kepentingan elit dan oligarki melalui pasal-pasal bermasalah, antara lain tentang pembentukan Dewan Pengawas (Pasal 37 (A-H)), kewenangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (Pasal 40), permohonan izin dari Dewan Pengawas (Pasal 37 B huruf b), masuknya KPK dalam rumpun eksekutif (Pasal 1 ayat 3), dan status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (Pasal 1 ayat 6).

Baca Juga: Interupsi, PKS Minta RKUHP Disahkan Tapi Pasal Penghinaan Presiden Dihapus

Menurutnya, pasal-pasal bermasalah tersebut berpotensi mengancam dan melemahkan KPK yang selama ini telah terbukti mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang dilakukan oleh elit dan melibatkan jaringan oligarki.

RKUHP sama mencoloknya karena menegaskan sifat akomodatif pada kepentingan oligarki, sebaliknya represif terhadap rakyat melalui pasal-pasal bermasalah, antara lain tentang hukuman ringan terhadap koruptor (Pasal 604), makar (Pasal 188), kegiatan promosi atau mempertunjukkan alat kontrasepsi tanpa diminta (Pasal 414 dan 416), perzinaan (Pasal 418), penghinaan presiden (Pasal 218-220), santet (Pasal 252), aborsi (Pasal 251, 470-472), gelandangan (Pasal 432), dan unggas (Pasal 278-279).

"Pasal-pasal tersebut sangat berpotensi mengancam kedaulatan rakyat atas dirinya sendiri, mengancam kebebasan berekspresi, dan merusak kohesi sosial," kata Hariyadi yang juga pengajar di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).

Menurutnya, watak elitis-oligarkis dan represif-otoritarian tersebut bukanlah hal baru di Indonesia karena keduanya muncul dalam sejarah rezim Orde Baru saat menikmati kekuasaan panjang dari tahun 1966 sampai 1998.

Ia mengatakan sisi kelam Orde Baru meninggalkan bekas mendalam tentang pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta daftar panjang praktik antidemokrasi (crimes againt humanity) mulai dari kasus Tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Aceh 1990, Marsinah 1994, wartawan Udin 1996, penculikan aktivis 1998, serta Trisakti dan Semanggi 1998.

Baca Juga: Disebut Bodoh oleh Yasonna soal RKUHP, Dian Sastro Digelari Putri Reformasi

"Pascareformasi 1998 ternyata tidak menghilangkan watak elitis-oligarkis dan represif-otoritarian secara signifikan. Bahaya penghilangan pandangan kritis masih juga mengancam," katanya.

Load More