Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Senin, 30 Desember 2019 | 16:50 WIB
Proses eskavasi Patung Ganesha di Desa Dieng Wetan Kecamatan Kejajar Wonosobo. [Suara.com/Khoerul]

SuaraJawaTengah.id - Dataran Tinggi Dieng bukan hanya tersohor karena pesona wisatanya. Wilayah itu juga kaya peninggalan budaya. Keberadaan beberapa candi di Kompleks Candi Arjuna Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur Banjarnegara membuktikan, daerah itu pernah menjadi pusat kejayaan umat Hindu.

Temuan candi yang kini menjelma objek wisata andalan Dieng itu belum mampu menyingkap peradaban Dieng secara utuh di masa lampau. Pasalnya, masih banyak candi atau situs lain, baik yang ditemukan belakangan atau belum ditemukan, serta diduga hilang.

Dugaan masih banyaknya situs yang belum ditemukan di Dieng mengacu pada catatan Sir Thomas Stamford Raffles dalam karyanya berjudul 'The History of Java'. Catatan itu menyebut lebih dari 400 situs atau candi di Dieng. Laporan itu sepertinya bukan isapan jempol.

Temuan batuan candi bukan hal asing bagi warga Dieng. September 2019 lalu, masyarakat Dieng Wetan dikejutkan dengan penemuan batuan candi yang terkubur dalam tanah. Benda purbakala itu ditemukan saat dilakukan penggalian lahan untuk proyek pembangunan rest area. Batuan yang sebagian patah atau tidak utuh lagi itu dikumpulkan untuk penelitian lebih lanjut oleh Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jateng. Temuan itu sedikit menjawab teka-teki lenyapnya sejumlah candi di Dieng.

Baca Juga: Petani Temukan Arca Ganesha Terbesar di Dieng

Kepala UPTD objek wisata Dieng Aryadi Darwanto mengatakan, di antara situs yang hilang, Candi Prau dan Situs Watu Kelir hanya berada sekitar 20 meter dari lokasi ditemukannya batuan candi itu. Karenanya patut diduga batuan itu adalah material Candi Prau atau situs Watu Kelir yang hilang. Batuan candi juga banyak diambil atau dimanfaatkan warga untuk kepentingan mereka, misalnya untuk bahan bangunan makam atau nisa. Batuan candi mudak ditemukan di makam penduduk Dieng.

Belum terungkap situs yang ditemukan di lokasi bakal rest area itu, kini warga Dieng Wetan kembali dikejutkan dengan penemuan arca Ganesha, Dewa bertubuh manusia dan berkepala gajah oleh petani saat mengolah lahannya. Arca setinggi sekitar 1,4 meter dan lebar 1,2 meter itu ditemukan tanpa kepala. Temuan ini dianggap penting karena merupakan arca terbesar yang ditemukan di Dieng.

Temuan ini juga membangkitkan gairah peneliti untuk menyingkap sejarah peradaban Dieng yang selama ini masih tertutup.

"Masih banyak arca maupun candi yang belum ditemukan sebagaimana data raffles tahun 1800-an, ada 400-an," kata Peneliti Komunitas Cagar Budaya Banjarnegara Dhimas Ferdianto.

Suasana penggalian Arca Ganesha di kawasan Pegunungan Dieng, Desa Dieng Wetan Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo, Senin (30/12/2019). [Suara.com/Khoerul]

Kekhasan Batuan Candi Dieng

Baca Juga: Minta Dicukur Jokowi, Farida Bocah Rambut Gimbal di Dieng Ini Viral

Menurut Dhimas, karakter bebatuan andesit yang membentuk candi Dieng beda dengan bebatuan candi atau arca di Magelang atau Klaten. Batuan candi di Dieng relatif lebih ringan sehingga mudah untuk dipindahkan dari tempat asalnya. Ini yang membuatnya rawan dicuri atau dipindahkan hingga keberadaannya terancam.

Selain karakter batuan yang ringan dan mudah dipindahkan, kerusakan atau lenyapnya candi-candi di Dieng dipengaruhi faktor alam. Maklum, ratusan situs atau candi berada di kawasan kaldera gunung api purba. Gunung api Dieng pun hingga sekarang masih aktif. Dalam perjalanan sejarahnya, Dieng kerap mengalami bencana alam akibat aktivitas vulkanik. Intensitas gempa juga sering dalam kurun waktu tahun 1900-2000 an.

Bencana alam itu berpotensi merusak atau melenyapkan bangunan yang ada, termasuk candi. Sejumlah candi seperti Candi Parikesit, Sadewa, Nakula, Nalagareng dan Setyaki pun hilang.

"Bencana memperburuk kondisi situs yang ada. Beberapa menjadi korban, hancur,"katanya

Keberadaan situs di Dieng kian terancam seiring dengan pertambahan penduduk yang cepat. Pemerintah di era kolonial, kata dia, mengeluarkan izin pembebasan tanah untuk warga yang batasannya Gunung Sipandu, Sikendil, sisi Gunung Prahu dan Gunung Pagerkandang.

Pemerintah di rezim Orde Baru (Orba), menurutnya, membuat kebijakan membagikan sertifikat lahan kepada para pendatang, serta penerbitan izin pembukaan lahan untuk pertanian. Kondisi itu tentu saja mengancam keberadaan situs di Dieng.

BPCB disebutnya pernah mendata lahan di tahun 1980-an dan menemukan, tanah milih Direktorat Kepurbakalaan ternyata banyak yang tumpang tindih kepemilikannya dengan warga yang juga memiliki sertifikat atas tanah tersebut.

Ia menilai, tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah membuat masyarakat kian gencar membuka lahan untuk pemukiman maupun pertanian.

Karena itu wajar jika banyak situs terkubur di permukiman maupun lahan pertanian warga. Ia mencontohkan situs Watu Kelir, komplek Candi Magersari, Candi X, Candi U, dan puluhan candi yang tergusur untuk pembangunan jalan lingkar Dieng.

Ketua Umum Yayasan Sahabat Muda Indonesia sekaligus Pembina Komunitas Cagar Budaya Banjarnegara mengatakan, peran serta pemerintah dan kesadaran masyarakat akan pelestarian cagar budaya di Dieng harus ditingkatkan. Jika kondisi ini dibiarkan dan luput dari perhartian, bukan tidak mungkin beberapa situs yang masih tersisa akan ikut hilang. Dieng menurut dia bukan hanya merupakan aset nasional, namun juga memenuhi prasyarat sebagai warisan dunia.

Kontributor : Khoirul

Load More