Pebriansyah Ariefana
Minggu, 09 Agustus 2020 | 14:48 WIB
Waria di Semarang. (Suara.com/Dafi)

SuaraJawaTengah.id - Sore itu di Kota Semarang, sebelum menghibur warga, Hani dengan cekatan mengambil perlengkapan dandan dari dalam tasnya. Ia kemudian memoles bibirnya dengan lipstik berwarna merah muda.

Hani adalah seorang waria asal Kota Semarang.

Pernak-pernik yang melekat di tubuhnya seperti tas, cincin, baju dan juga sepatu yang Hani pakai menunjukan bahwa ia benar-benar mengetahui fashion dan cara berpakaian menarik untuk dipakainya.

Setelah persiapan selesai, ia pamitan dengan ibunya yang saat itu sedang sakit karena stroke yang menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Kini, ia hanya tinggal bersama ibu dan adik semata wayangnya yang masih duduk di bangku SMP.

Hani merupakan tulang punggung bagi keluarga. Semenjak bapaknya meninggal, ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ia menjadi sosok kepala keluarga yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Sembari berjalan menuju tempatnya bekerja, Hani bercerita tentang banyak hal buruk selama ia bekerja. Mulai dari pungli, intimidasi, pelecehan dan berbagai penolakan dari warga bahkan tak terkecuali keluarga paling dekat sekalipun.

“Dulunya sempat dipaksa keluarga agar tidak memakai baju perempuan saat di rumah,” katanya sembari mengingat-ingat memori kelam yang pernah ia alami.

Keluarganya memang sempat malu namun seiring waktu, berangsur-angsur keluarga sudah mulai menerima jalan hidup pilihan Hani.

Bully atau sindiran menjadi makanan yang kerap dia dapatkan selama beraktivitas. Kendati demikian dirinya tak mempermasalahkan orang-orang tersebut.

Baca Juga: KSAD Ditunjuk Jadi Wakil Ketua Komite Covid-19, DPR Bilang Begini

"Stigma negatif terhadap saya sudah biasa saya terima. Namun ketika kita diberi kesempatan hidup sekali, bermanfaatlah buat orang lain," jelasnya.

Obrolan kami harus dihentikan ketika tiba tempat kerjanya.

“Maaf ya, saya mau pentas dulu menghibur warga,” katanya sembari mengarahkan tangannya ke arah panggung yang dipenuhi dengan alat musik.

Hari itu Hani diundang warga untuk menjadi penyanyi bersama group music asal Kota Semarang. Gelak tawa warga mulai pecah ketika Hani bernyanyi. Dengan sekejap, Hani menguasai panggung.

Hani memang kerap dipanggil sebagai penyanyi karena ia tidak hanya lihai dalam bernyanyi namun juga mahir mengocok perut warga ketika bernyanyi.

Selepas bernyanyi, Hani kembali menghampiri saya di samping rumah warga. Sebelumnya kami memang sudah bersepakat untuk bertemu di tempat tersebut.

Meski terlihat lelah, Hani masih bersemangat untuk bercerita soal perjalanannya sebagai waria.

“Sebenarnya masih banyak cerita, tapi saya ceritanya pas sudah sampai tempat tujuan kita saja ya” katanya.

Langit mulai mendung, pertanda Kota Semarang akan segera diguyur hujan dalam hitungan menit. Dugaan itu benar, selang lima menit hujan benar-benar turun. Beberapa pakaian kami basah, untungnya tempat yang kita tuju sudah dekat.

“Waduh teles kabeh,” cletuk Hani setelah kehujanan.

Setiba di tempat tujuan, Hani mencari tempat yang berdekatan dengan kipas angin dengan harapan agar baju yang dia pakai lekas kering. Selanjutnya, kopi dan tahu goreng menjadi pembuka dari obrolan kami selanjutnya.

Nasib Waria Saat Pandemi Covid-19

Adzan maghrib berkumandang, suara gemuruh hujan semakin hingar mengiringi hari yang mulai petang. Sembari menunggu adzan maghrib, Hani membalas pesan WhatsApp dari temannya yang sebelumnya belum sempat ia balas.

Jam menunjukan pukul 18.30 WIB, Hani mulai melanjutkan ceritanya tentang diskriminasi yang menimpa teman waria selama Covid-19 di Kota Semarang. Beberapa teman waria Hani tidak bisa mendapatkan bantuan Covid-19 karena tidak mempunyai identitas diri.

Menurutnya, identitas diri merupakan masalah klasik yang sering kali menjadi masalah bagi para waria. Selain itu, pandangan masyarakat terhadap waria masih negatif.

“Masih banyak masyarakat yang memandang waria itu sebelah mata bahkan kesannya itu negatif. Sering kali dibuat ejekan. Padahal kita kan manusia ya, yang berhak untuk hidup di negara kita,” keluhnya.

Meski mengeluh, Hani tetap sadar fenomena sosial yang ada di sekitarnya. Ia dan teman-temannya tak bisa memaksakan kehendak masyarakat.

Hani dan teman-temannya hanya bisa mawas diri, yang terpenting anggota Perwaris harus sopan dan baik kepada siapapun.

Menurutnya, Perwaris merupakan rumah keduanya. Di komunitas tersebut ia bisa bertemu dengan seorang teman yang mempunyai nasib sama yaitu sama-sama waria. Hal itu wajar lantaran Perwaris merupakan komunitas yang mempunyai anggota semuanya adalah waria.

Baginya, pewaris tidak hanya komunitas melainkan keluarga baru yang setiap saat melindungi dan memperjuangkan hak Hani dan teman-temannya sebagai warga negara Indonesia.

Menurutnya,itulah alasan Hani kenapa sampai saat ini ia bertahan di sebuah organisasi yang telah berdiri sejak 2006 tersebut. Jika ia hitung, sampai saat ini anggota Perwaris sekitar 125 waria.

Selain diskriminasi, waria di Kota Semarang kerap kali menjadi korban pungutan liar (Pungli) oleh sejumlah preman yang berada di dekat pangkalan waria.

Mulai pukul 21.30 WIB, waria Kota Semarang mulai kumpul di tempat pangkalan. Di Kota Semarang terdapat dua pangkalan yang ia sebut pangkalan A dan pangkalan B. Kedua pangkalan tersebut juga mempunyai masalah yang berbeda-beda.

Untuk pangkalan A, masalah yang kerap dialami para waria adalah pungli. Biasanya para waria diminta uang sebesar Rp 20 ribu setiap orang. Rata-rata setiap malam waria yang mangkal di pangkalan A berjumlah paling sedikit 10 orang.

“Tidak berani melawan takut kalau misal terjadi sesuatu, kita memilih untuk memberikan uang meski belum dapat uang,” ungkapnya.

Sementara untuk pangkalan B para waria kerap kali mendapatkan teror seperti dilempar batu, plastik berisi air comberan, plastik berisi berak dan plastik berisi air kencing. Teror seperti itu, hampir setiap hari terjadi.

Meski setiap terjadi teror serupa para waria sudah berusaha untuk mencarinya namun masih saja tidak ketemu. Sampai saat ini, para waria masih belum mengetahui untuk apa dan siapa dalang dan pelaku di balik teror tersebut.

“Sebenarnya kita ingin tau agar mengerti alasannya. Kalau tiba-tiba meneror seperti itu kan tidak baik,” imbuhnya sembari melihat catatannya.

Menurutnya, masalah yang menimpa para waria di Kota Semarang membuat hatinya pilu. Apalagi Hani sendiri merasakan betapa sulitnya mencari penghasilan di tengah pandemi Covid-19 seperti ini.

Selama masa pandemi Covid-19 di Kota Semarang, penghasilan dari kerja Hani belum cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Beda dengan sebelum pandemi.

“Ya kalau dibilang cukup ya tidak, dibilang tidak cukup ya cukup. Pokoknya dicukup-cukupkan deh,” ujarnya.

Sebagian besar, waria di Kota Semarang membuka tempat salon, termasuk Hani. Sebelum pandemi Hani mempunyai salon yang berada di lokalisasi Sunan Kuning. Dalam sehari ia dapat laba Rp 400ribu setiap harinya.

Jika ditotal, penghasilan Hani dalam satu bulan sekitar Rp 6 juta hasil dari bekerja sebagai tukang salon. Karena ditutup pendapatannya berkurang. Hal itu membuat Hani bergelut di dunia malam sebagai pekerja seks.

Dari pekerjaanya itu, dalam sehari Hani bisa dapat penghasilan sekitar Rp300 ribu. Masalah tidak habis di situ saja, ketika masa pandemi Covid-19 banyak hotel langganan yang menolak karena takut.

“Akhirnya aku merasa kasihan kepada teman-teman. Banyak yang nganggur dan akhirnya tidak mendapatkan penghasilan. Padahal mereka mengeluarkan biaya kost dan makan setiap hari,” keluhnya.

Bahkan beberapa waria mendapatkan perlakuan yang lebih represif dari aparat penegak hukum, Satpol Pamong Praja(PP) Kota Semarang.

Oknum penegak hukum tega menggunduli rambut dan memaksa salah satu waria yang dibawa ke kantor Satpol PP Kota Semarang untuk bertelanjang dada, setelah itu baru diperbolehkan pulang.

Ketua Perwaris Silvi Mutiari mengatakan, untuk kejadian pelecehan terjadi pada hari Sabtu tanggal 18 April 2020. Awalnya korban mengamen di salah satu perempatan Kota Semarang, tiba-tiba ada Satpol PP datang dan korban terkena razia.

Setelah itu, korban dibawa ke Kantor Satpol PP yang berada di Jalan Ronggolawe, Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Di tempat itu, korban mengalami tindak pelecehan seksual dari petugas Satpol PP.

Padahal saat itu, korban tidak sendirian, namun yang digunduli dan dipaksa bertelanjang dada hanya dia. Dari kejadian tersebut korban mengalami trauma berat.

“Jadi pelecehan dari Satpol PP menyamakan korban dengan laki-laki, hal itulah yang kemungkinan membuat oknum Satpol PP menggunduli dan memaksa korban untuk bertelanjang dada,” jelasnya.

Selain kasus pelecehan seksual, para waria juga kerap menjadi korban aksi kriminalitas ketika berada di ruang terbuka. Salah satunya adalah perampasan barang berharga seperti handphone maupun tas yang berisi uang cash.

Kalibanteng merupakan salah satu tempat terjadinya perampasan barang berharga milik para waria.

”banyak sekali preman yang mengambil handphone atau tas berisi uang cash di daerah Kalibanteng." ungkapnya.

“Sudah jatuh tertimpa tangga”, peribahasa itu rasanya tepat menggambarkan nasib para waria Kota Semarang. Selama masa pandemi Covid-19 sudah sulit mencari uang, malah menjadi korban pelecehan seksual dan perampasan.

Meski mengalami aksi pelecehan dan perampokan, Silvi memilih untuk sementara waktu diam. Hal itu bukan tanpa alasan, pasalnya sudah beberapa kali Silva melaporkan kasus waria yang lain. Namun aparat hanya melihat dengan sebelah mata kasus tersebut.

Karena mempunyai pengalaman buruk tersebut, Silvi sudah pesimis ketika melapor kasus kejadian yang menimpa para waria di Kota Semarang.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Semarang Fajar Purwanto membenarkan hal tersebut. Ia mengakui jika tanggal 18 Aril 2020 memang menggunduli seorang waria.

Kendati demikian, Fajar tak mau dipersalahkan karena penggundulan sudah menjadi aturan baku Satpol PP Kota Semarang. Bahkan, menurutnya aturan tersebut sudah ada sebelum ia menjadi kepala Satpol PP.

“Soal penggundulan itu memang sudah menjadi aturan baku dari internal Satpol PP Kota Semarang,” kata Fajar.

Namun, ia menyangkal jika pihaknya dituduh melakukan pelecehan berupa telanjang dada untuk waria. Menurutnya hal itu tidak mungkin dilakukan oleh Satpol PP Kota Semarang karena tidak sesuai dengan aturan.

“Tidak, tidak mungkin. Kita masih normal semua,” jawabnya.

Perbarui Sistem Bantuan

Program Manager Rumah Pelangi Indonesia, Gabriel Eel mengatakan soal masalah sistem pendataan penerima bantuan dari pemerintah harus diperbaharui.

Jangan sampai dengan anggaran bantuan yang begitu besar tidak diberikan pada target yang tepat.

“Pendataan saat ini berdasarkan KK, hal ini tentu membuat kelompok rentan yang tidak memiliki kartu identitas itu menjadi lebih sulit."

Karena ada alasan tertentu mereka tidak bisa mengurus kartu identitas.Kebanyakan mereka enggan untuk kembali ke keluarga, seringkali kekerasan yang diterima itu berasal dari keluarga sendiri.

"Entah itu dalam bentuk fisik maupun psikis,” ucapnya.

Persoalan tersebut, menurut Eel, ditengarai oleh penolakan dan stigma yang dialami oleh transgender.

Semisal diusir dari kediaman orang tua dan terpaksa kabur saat usia masih belia.

Hal-hal semacam itu turut mempengaruhi para transgender kesulitan tak memiliki kartu identitas. Sehingga hal yang terlihat mudah bagi orang lain, akan terasa sulit bagi komunitas rentan ini.

Menanggapi masalah tersebut, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Semarang Adi Tri Hananto mengatakan, tidak ada diskriminasi dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Menurutnya, asal waria mempunyai alamat dan Kartu Keluarga (KK) pihaknya dapat membuatkan KTP. Namun, jika disuruh merubah keterangan kelamin pihaknya tetap tidak menyanggupi.

“Kalau kedua syarat tadi sudah terpenuh bisa dibuatkan identitas tapi identitasnya sesuai dengan kondisi asli tidak boleh diganti keterangan jenis kelaminnya. Kalau jenis kelaminnya laki-laki tapi minta wanita ya tidak bisa. Jadi harus sesuai ketika mereka lahir,” jelasnya.

Meski pihaknya tidak bisa mengganti keterangan jenis kelamin, Adi tetap menganjurkan jika para waria ingin mempunyai KTP dengan kondisi yang baru sebenarnya bisa ditempuh melalui pengadilan.

“Sebenarnya ada proses pengadilan seperti artis Lucinta Luna. Jadi ada jalan lain melalui pengajuan identitas baru di pengadilan,” katanya.

Jika sudah ada putusan pengadilan, lanjut Adi, pihaknya baru bisa membuatkan identitas baru sesuai yang diinginkan para waria.

“Meski dia transgander, sudah operasi plastik kek memang harus lewat pengajuan pengadilan, baru ke Disdukcapil,” imbuhnya.

Kepala Bidang Minoritas Kelompok Rentan LBH Semarang, Naufal Sebastian, merasa masalah ini perlu diperhatikan. Karena dalam kondisi darurat pandemi Covid-19 ini, transgender juga berhak untuk mendapatkan bantuan.

Menurutnya, dengan adanya kartu identitas memang diperlukan untuk keperluan akuntabilitas, pertanggung jawaban ke mana bantuan itu diberikan. Tetapi bukan jadi penghalang komunitas transgender untuk mendapatkan bantuan. Bagaimanapun juga para waria merupakan warga Indonesia

"Mungkin bisa dicari alternatif lain, bisa menggunakan foto atau data yang lain. Karena ini sudah urusan kemanusiaan yang berhak didapatkan orang yang memang membutuhkan,” imbuhnya.

Kontributor : Dafi Yusuf

Load More