Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Minggu, 16 Agustus 2020 | 07:10 WIB
Siswa MTS Pakis belajar menggunakan Handy Talkie (HT) di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Sabtu (15/8/2020). [Suara.com/Anang Firmansyah]

SuaraJawaTengah.id - Senyum ramah dari raut wajah Puspita Lia Safitri, Siswi Madrasah Tsanawiyah Pakis di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas terpancar menyambut kedatangan pengurus sekaligus kepala sekolah.

Siswi Kelas IX ini datang pagi buta dari kediamannya yang berjarak dua kilometer dengan melintasi beberapa bukit, namun tak sedikit pun merasa kelelahan.

Mungkin akan terasa wajar bagi siswi berusia 13 tahun ini, lantaran pada bulan ini sudah genap tiga tahun dia belajar di sekolah ini.

Baca Juga: Kompaknya Bikin Ngakak, Ibu Diam-Diam Bantu Anak Beri Jawaban Saat PJJ

"Biasanya saya berangkat pukul 05.30 WIB pagi dari rumah. Tapi bareng sama teman-teman jadi tidak terasa capek," kata Lia yang rumahnya terletak di Grumbul Karanggondang, Desa Sambirata, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Sabtu (15/8/2020).

Menurutnya, jika ditempuh dengan jalan santai membutuhkan waktu satu jam, atau jika ia mempercepat langkah kakinya bisa memangkas waktu sampai setengah jam.

Itupun dengan catatan tak ada hujan. Karena jika turun hujan, jalannya menjadi licin. Namun tak menyurutkan semangatnya dalam menuntut ilmu.

"Pernah jatuh waktu pulang sekolah. Karena jalannya licin kan, terus kebetulan saya tidak bawa payung, takut buku pelajarannya basah jadi terburu-buru," ujar Lia dengan tersenyum.

Namun beberapa bulan terakhir langkahnya kian berat, tak hanya wajib membawa buku pelajaran. Peraturan pemerintah yang melarang kegiatan belajar mengajar tatap muka, mau tak mau membuat pelajar menggunakan gawainya untuk proses belajar.

Baca Juga: Sejumlah Warga Donasikan Ponsel Bekas untuk Bantu Siswa Belajar Daring

Ia bersama teman-temannya yang memiliki keterbatasan biaya pun harus rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli kuota internet.

palagi dengan uang sakunya yang hanya dijatah Rp 5 ribu per hari oleh bapaknya yang berprofesi sebagai pencari getah pinus di hutan.

"Saya punya gawai sendiri, tapi untuk membeli kuota itu tidak murah. Apalagi di sini memang sinyalnya sangat susah sekali. Ada sesekali, hilang-hilangan," kata Lia yang menyukai pelajaran bahasa inggris.

Kesabarannya dalam menempuh proses pendidikan tak diragukan lagi. Terbukti saat ujian kenaikan kelas yang juga dilakukan secara daring pada beberapa bulan lalu, ia harus naik bukit untuk mencari sinyal dengan lancar.

"Ya gimana lagi, di sini ada sinyal tapi sering banget hilangnya. Jadi semua siswa harus naik ke atas bukit biar lancar ujiannya," ungkap Lia yang bercita-cita menjadi Polisi Wanita.

Senada dengan Lia, Reza Ramadani (12), siswa kelas 8 MTS setempat mengatakan jika ia juga harus mengalami hal yang sama.

Siswa MTS Pakis belajar menggunakan Handy Talkie (HT) di tepian Telaga Kumpe, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Sabtu (15/8/2020). [Suara.com/Anang Firmansyah]

Hanya saja perjuangan tak seberat kakak kelasnya. Rumahnya dengan sekolahan hanya berjarak sekitar 200 meter, tapi dengan kontur jalan yang menanjak.

"Saya betah sekolah di sini, karena gratis, terus tidak perlu pakai seragam. Daripada harus sekolah negeri jaraknya jauh, harus membawa uang saku, belum lagi harus ngojek," kata Reza yang menggunakan beras empat kilogram untuk mendaftar di sekolah ini.

Reza tak memiliki gawai sendiri. Namun saat proses pembelajaran di masa pandemi seperti saat ini, dia terpaksa harus meminjam gawai orangtuanya. Atau jika sedang dipakai, ia meminjam kepada relawan yang mengajar di MTS Pakis.

Persoalan gawai dan kuota pulsa tersebut, lazimnya menghantui kegiatan belajar mengajar di masa Pandemi Corona seperti saat ini. Beruntung, sekolah tempat mereka mendapat solusi yang mujarab untuk menyelesaikan masalah keterbatasan biaya dan bahkan koneksi jaringan internet.

Asa dan harapan itu muncul seminggu yang lalu. Kala itu, gabungan komunitas yang terdiri dari Organisasi Radio Amatir Indonesia (Orari) Kabupaten Banyumas, komunitas Pers dan Mitra Kerja serta jajaran pemerintahan tingkat kabupaten membuat metode yang menarik.

Mereka menerapkan terobosan metode pembelajaran jarak jauh menggunakan sinyal radio dengan bantuan alat Handy Talkie (HT) pun diujicobakan.

Namun, bukan tanpa halangan. Siswa tetap harus ke tepian Telaga Kumpe, tak jauh dari sekolah agar jaringan frekuensi lancar.

Memang, dari dalam ruang kelas bisa saja, tapi ketika jaraknya saling berdekatan suara yang ditimbulkan pun jadi putus nyambung.

"Jauh lebih lancar jika dibandingkan pakai gawai. Tapi memang harus diatur jaraknya. Jadi harus mencari tempat sendiri-sendiri per kelompok dibagi empat orang karena keterbatasan alat," jelasnya.

Hari ini, ia bersama 10 temannya ditugaskan untuk membuat puisi tentang kemerdekaan oleh relawan yang menjadi guru dari Fakultas Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto.

Mengingat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang tinggal dua hari lagi. Ia pun harus membacakan puisi dari tepian Telaga Kumpe.

"Susah bikin puisinya, ini saya buat lama juga. Karena baru pertama buat," katanya sembari dibimbing oleh relawan dari Purwokerto melalui HT.

Ia bersama teman satu sekolah mengaku sedikit kesulitan mengikuti pelajaran, terlebih jika mata pelajaran Bahasa Inggris.

Lantaran yang didengar, berbeda dengan caranya menulis. Perlu pemahaman lebih jauh.

"Susah kalau pelajaran Bahasa Inggris. Yang diucapkan guru berbeda dengan yang saya tulis. Saya dengarnya apa, tapi waktu saya tulis lain lagi," jelasnya.

Sementara itu, Kepala Sekolah sekaligus pengasuh MTS Pakis, Isrodin menjelaskan sekolahnya tersebut mendapatkan bantuan tujuh HT dari Wakil Bupati Banyumas dan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Kabupaten Banyumas.

"Alhamdulillah setelah satu minggu teman-teman ujicoba adaptasi pembelajaran dengan radio sekarang kita sudah memiliki pesawat atau HT bantuan dari teman-teman pers media atau orari yang menginisiasi kegiatan ini," kata Kang Is, sapaan akrabnya.

Menurutnya, siswa yang bersekolah di MTS Pakis jumlahnya tidak banyak. Total ada 20 pelajar dari kelas 7 sampai 9.

Isrodin, mengevaluasi pembelajaran setelah mengikuti kelas yang dibimbing relawan dari Purwokerto di MTS Pakis, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Sabtu (15/8/2020). [Suara.com/Anang Firmansyah]

Sebelum adanya pandemi, guru (relawan) yang intens mengajar ada 10 orang. Kebanyakan mahasiswa dari beberapa universitas di Purwokerto. Para relawan tersebut hanya datang untuk mengajar lalu pulang.

"Tapi setelah adanya pandemi, para pengajar ini hanya membimbing lewat gawai, sebelum ada bantuan HT ya. Nah kita kesulitan sinyal, kalau pakai gawai. Karena sering sekali hilang, tidak lancar. Beda dengan radio ini. Tapi kita masih numpang repeater dari Curug Cipendok sana," jelasnya.

Ia berharap, paling tidak nantinya satu anak memegang satu HT untuk mengikuti pelajaran dari rumah. Jadi tidak perlu ke sekolahan. Untuk mengantisipasi penyebaran virus covid-19.

"Paling nanti kita atur jadwal, Senin sampai Kamis belajar dari rumah masing-masing. Terus Jumat dan Sabtu belajar kelompok di sekolahan," jelasnya.

MTS Pakis sendiri sudah ada sejak tahun 2013. Ada dua ruangan belajar dengan bangunan leter L, berdiri di atas tanah dengan luas 700 meter persegi milik madrasah dan separuhnya wakaf dari warga.

Sekolah tersebut menerapkan pelajaran Agroforestry dengan tidak memungut biaya sepeserpun.

"Diawal pembelajaran, pendaftarannya saja dengan alat pertanian atau hasil bumi. Kenapa itu dilakukan karena sekolah kita ini berbasis kearifan lokal. Jadi anak-anak belajarnya tidak lepas dari kebiasaan orangtua, bertani, berkebun, perikanan, atau bercocok tanam," ujarnya.

Saat ini, MTS Pakis yang berada di kaki lereng selatan Gunung Slamet mempunyai lahan praktik milik orangtua anak yang dikelola bersama untuk pembelajaran Agroforestry.

Kontributor : Anang Firmansyah

Load More