Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Minggu, 16 Agustus 2020 | 16:24 WIB
Ilustrasi pedagang mainan. (suara.com/Fikri)

SuaraJawaTengah.id - Bukan hal baru nasib pejuang era kemerdekaan RI hidup susah dan memprihatinkan. Semisal Ngadimin Citro Wiyono yang kini usianya 87 tahun.

Dia sering disapa Mbah Min. Kini Mbah Min hidup miskin dengan menjadi pedagang asongan atau bakul dolanan di Solo. Dia menjual aneka mainan anak di pinggir jalan.

Masa muda Mbah Min dihabiskan dengan berjuang dan menjadi mata-mata mengamati pergerakan tentara Belanda pada masa Agresi Militer Belanda II tahun 1948.

Rumah Mbah Min di Kaplingan RT 004/RW020, Jebres, Solo.

Baca Juga: Sambut HUT RI Ke-75, Serbu Promo 17 Agustus di 4 Destinasi Wisata Ini

Dia berjualan di sana sejak pagi hingga malam. Mbah Min bisa membawa pulang uang Rp20.000, jika beruntung. Seringnya, tak membawa uang sama sekali.

Sebelumnya dia menjadi penarik becak. Namun, sejak empat hingga lima tahun terakhir dia beralih berjualan mainan.

Salah seorang pedagang di sekitar kampus UNS Solo, Purnomo, mengaku mengetahui Mbah Min si bakul dolanan yang merupakan seorang pejuang kemerdekaan.

Purnomo menyebut Mbah Min sejak dulu bekerja serabutan sampai akhirnya berjualan mainan. Meski usianya tak lagi muda, semangat Mbah Min tak pernah pudar layaknya anak muda.

"Sebelumnya sudah tahu Mbah Sempong pejuang. Dulu juga kerja serabutan akhirnya semakin tua, semakin tua jualan mainan, kalau semangatnya enggak kalah dengan yang muda-muda. Dia semangatnya bagus, di event manapun dia ikut. Jualannya sampai malam kadang jam 22.00 kadang jam 23.00, enggak pernah mengeluh," tutur Purnomo seperti dilansir Solopos.com.

Baca Juga: Teks Proklamasi Asli Tulisan Soekarno Akan Dipamerkan di Istana 17 Agustus

Mbah Min si bakul dolanan di Solo ini sebenarnya diminta keluarganya tinggal di rumah saja. Apalagi pendapatannya menurun selama pandemi Covid-19. Namun, dia mengaku tidak kerasan jika hanya berdiam diri di rumah tanpa bekerja.

Di tengah perjuangannya menyambung hidup sebagai bakul dolanan di Solo, Mbah Min berharap mendapat pengakuan sebagai veteran.

Bukan soal uang yang dia cari dari penghargaan itu, tapi pengakuan tentang perjuangannya di masa lalu.

"Kemauan saya terhadap pemerintah, akuilah saya sebagai pejuang, yang kedua veteran ada honor sedikit atau banyak, tapi bukan itu tujuan saya. Akui saja saya sudah senang, dan perjuangan saya tidak sia-sia. Saya itu kalau cerita masa lalu air mata netes, sampai sekarang belum mendapat penghargaan," kata Mbah Min.

Dulu, Mbah Min adalah pejuang telik sandi bagi tentara Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan pada masa Agresi Militer ke II. Dia bertugas mengawasi pergerakan Belanda di kawasan Panasan, Boyolali.

"Ceritanya kampung di sekitar Panasan Boyolali, dulu belum ada Lanud Adisumarmo, tapi lapangan terbang Panasan. Pada tahun 1948 Belanda kembali menjajah Indonesia, Belanda yang di Solo berpusat di lapangan terbang. Di sana tank-tank Belanda banyak, pesawat juga banyak dan gudang senjata. Tugas saya menjadi pengawas musuh, atau mata-mata," tutur Mbah Min.

Kala itu, Mbah Min yang kini bekerja sebagai bakul dolanan di Solo baru berusia 16 tahun. Kehidupan masa kecilnya terasa getir lantaran orang tua dan semua tetangganya tewas lantaran desanya diserbu tentara Belanda.

Sejak saat itu dia bertekad membalas dendam kematian keluarganya. Dia kemudian diminta salah satu komandan tentara menjadi mata-mata dan langsung menyanggupinya.

Load More