SuaraJawaTengah.id - Bulan Muharam dalam penanggalan Islam atau Suro dalam almanak Jawa kerap diidentikan dengan pencucian atau penjamasan benda pusaka.
Ritual yang kerap identik dengan masyarakat Jawa ini, dianggap sudah menjadi bagian dari tradisi yang terus menerus dilestarikan tiap tahunnya.
Meski di tengah Pandemi Virus Corona seperti saat ini, tradisi tersebut masih terus berjalan. Seperti yang dilakukan pelaku budaya tradisional di Desa Sidomulyo Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal.
Menariknya, salah satu benda pusaka yang dijamas pelestari budaya tersebut merupakan warisan dari leluhur yang usianya sudah tujuh abad.
Komunitas budaya tradisional di desa tersebut mengemukakan, jika benda-benda pusaka yang dijamas tersebut berasal dari peninggalan kerajaan yang berupa keris dan tombak dengan jumlah belasan. Salah satu yang tertua adalah keris bersejarah dari Kerajaan Majapahit berumur hingga 700 tahun lebih.
Sebelum melakukan penjamasan, beberapa proses mesti dilakukan, mulai pembacaan doa, jamas atau pembersihan keris, hingga sindikoro atau menyelaraskan energi.
Seorang pelaku budaya setempat, Agus Riyatno meyakini, penjamasan yang kerap dilakukan setiap 1 Suro merupakan bentuk pelestarian dan menghargai benda bersejarah yang masih ada.
“Di sisi lain peninggalan benda pusaka ini dalam pembuatannya juga tak sama, disesuaikan dengan latar belakang seseorang baik dari keturunan kerajaan ataupun orang biasa,” jelasnya seperti dilansir Ayosemarang.com-jaringan Suara.com pada Kamis (20/8/2020).
Lantaran itu, pelaku budaya percaya, jika ada kekuatan yang mengikat antara pemilik dengan pusaka dimilikinya.
Baca Juga: 1 Suro, Pelaku Budaya di Kendal Jamas Keris Majapahit Berusia 700 Tahun
Penjamasan ini juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan budaya terlebih peninggalan sejarah budaya di Indonesia seperti keris yang telah diakui oleh Unesco sebagai warisan dunia.
Selain melakukan penjamasan, warga juga menggelar tradisi baritan. Selain untuk mendapatkan berkah tahun baru Hijriyah, tradisi ini merupakan sarana dalam mempererat silaturahmi antar warga.
Dalam tradisi baritan ini, warga membawa makanan berupa nasi lengkap dengan lauk pauk dan jajanan untuk sajian doa bersama yang dilakukan di perempatan atau pertigaan jalan kampung.
Tradisi baritan diikuti seluruh warga, mulai dari orang tua, pemuda hingga anak-anak. Setelah dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh setempat, kemudian makanan yang telah dikumpulkan itu dibagikan secara merata untuk dimakan bersama dan di bawa pulang.
Nurhadi warga Desa Sidomulyo mengatakan, tradisi baritan yang dilakukan di tiap-tiap perempatan dan pertigaan jalan kampung sudah dilakukan sejak zaman orang tua dulu.
Tujuannya untuk menolak bala dan mendapatkan segala kebaikan yaitu dengan memanjatkan doa bersama seluruh warga.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
-
Kuota Pemasangan PLTS Atap 2026 Dibuka, Ini Ketentuan yang Harus Diketahui!
Terkini
-
BRI Perkuat Aksi Tanggap Bencana Alam, 70 Ribu Jiwa Terdampak Beroleh Bantuan
-
PSIS Semarang Gegerkan Bursa Transfer: Borong Tiga Pemain Naturalisasi Sekaligus
-
8 Wisata Terbaru dan Populer di Batang untuk Libur Sekolah Akhir 2025
-
5 Rental Mobil di Wonosobo untuk Wisata ke Dieng Saat Libur Akhir Tahun 2025
-
Stefan Keeltjes Enggan Gegabah Soal Agenda Uji Coba Kendal Tornado FC