Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 30 September 2020 | 15:14 WIB
Sertu Ishak Bahar. (Suara.com/Anang Firmansyah)

SuaraJawaTengah.id - Tragedi 1965 atau G30S menjadi kisah kelam bangsa Indonesia. Beberapa orang menjadi korban tahanan politik. Tidak hanya aktivis dari PKI, anggota TNI yang terlibat juga dipaksa menjalani hukuman. 

Sertu Ishak Bahar, prajurit militer Angkatan Darat (AD) pada era masa pemerintahan Presiden Soekarno. Semasa bertugas sebagai prajurit, ia telah menyelesaikan misi di berbagai daerah di Indonesia.

Suatu ketika ia akhirnya ditarik ke istana oleh atasannya pada tahun 1962. Selama tiga tahun di istana hingga tahun 1965, ia ditugaskan menjadi ajudan Komandan Batalyon I Tjakrabirawa Letkol Untung yang membuatnya kemudian ditahan tanpa tahu alasannya.

Ia bercerita, ketika sampai di Istana, ia diterima. Namun ia dilucuti senjatanya. Hal tersebut yang ia ingat betul menjadi satu-satunya alasan kenapa ia kemudian ditahan sampai 13 tahun lamanya tanpa proses persidangan.

Baca Juga: Jejak PKI di Palembang, Ada Kamp di Pulau Kemarau Hingga Muktamar Ulama

"Tahun 1965 saya jadi ajudannya Untung. Nah tahu-tahu saya dibawa ke Lubang Buaya. Di sana saya bingung ada apa. Setelah kejadian geger...geger...geger, saya ditinggal pergi sama Pak Untung, jadi saya pulang ke Cakrabirawa di istana," katanya kepada Suara.com di kediamannya di Kabupaten Purbalingga, Rabu (30/9/2020).   

Ia mengaku, mengawali kariernya di TNI AD sempat ditugaskan diberbagai daerah. Hingga akhirnya berakhir pada tragedi 1965 di Jakarta. 

"Saya pertama kali bertugas itu di Sumatera Barat, terus ke Aceh, balik lagi ke Sumbar, lalu ditugaskan di Papua," kata Ishak yang saat ini berusia 84 tahun.

"Wong saya diperintah ikut Pak Untung, tahu-tahu ditahan. Itu tok, nggak ada persidangan. Saya hanya saksinya Untung. Ditahan di Salemba ada temennya banyak tapi sudah lupa, sudah mati semua. Yang jelas tentara juga ada, terus sipil. Kalau tentara ada dari Angkatan Udara, Kopassus, Angkatan Darat, Dinas Kesehatan dan Cakrabirawa juga ada," tambahnya. 

Tragedi 1965 menjadi pengalaman yang kelam baginya. Dua bulan sebelum ditahan, ia menggelar pernikahan dengan seorang wanita. Namun, siapa sangka, setelah ia ditahan ternyata istrinya diambil orang.

Baca Juga: Cegah Klaster Baru, Polisi Larang Nobar Film G30S/PKI

"Pulang tahun 1978. Bandane mawut, bojo ucul, pangkat minggat (hartanya semrawut, istrinya lepas, pangkat pergi)," ungkapnya.

Awal kisahnya menjadi seorang prajurit tentara dimulai saat usianya 17 tahun. Ia yang menjabat sebagai Ketua Organisasi Pemuda Masyumi Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga.

Selain itu latar belakangnya merupakan seorang santri Pondok Pesantren di Desa Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas.

"Saya dahulu dari pondok pesantren. Dari pondok pesantren itu karena saya ketua Masyumi umur 17 tahun. Setelah Masyumi berontak di Sumatera Barat terus Manado, Saya dicurigai. Maka saya masuk militer. Pada waktu itu kan Partai Masyumi kadernya dicurigai oleh pemerintah. Yang pemenang pertama Pemilu kan Masyumi," lanjutnya.

Ia menjalani pendidikan militer pada tahun 1956. Satu tahun kemudian ia dilantik dan langsung ditugaskan ke Sumatera untuk memberantas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

"Yang dipimpin oleh Soemitro Djojohadikoesoemo bapaknya Prabowo. Jadi saya ke Istana itu dari Papua," ujarnya.

Saat ini Ishak lebih banyak menghabiskan waktu mengikuti kegiatan di masjid dekat rumahnya. Ia pernah menjabat ketua takmir masjid, namun karena saat ini usianya telah senja, jabatan itu ia serahkan ke orang yang lebih muda.

"Karena saya dari pondok, jadi saya mulang (ngajar) di sini. Dahulu di penjara juga saya mulang. Setelah saya tua sekarang jadi takmir masjid. Sekarang saya sudah tidak jadi ketua lagi, saya kadang jadi imam. Memang saya dari muda suka pelajaran Agama. Alquran ya saya mengerti artinya semua," tandasnya. 

Kontributor : Anang Firmansyah

Load More